Dalam pidato Hari Ulang Tahun JIL, Ulil Abshar Abdalla menyatakan
bahwa hukum Tuhan perlu ditafsirkan ulang. Dan Kebangkitan agama
bukanlah sepenuhnya mengandung aspek positif. Umat Islam harus waspada
dengan manuver pemikiran ala pentolan Jaringan Islam Liberal ini.
Seperti ingin mengekor jejak mendiang pendiri Paramadina, Nurcholish
Madjid yang menyampaikan pidato kontroversinya di Taman Ismail Marzuki
(TIM) tentang keagamaan di Indonesia pada 1992 silam, di tempat yang
sama pada Selasa malam (2/03/2010), pentolan Jaringan Islam Liberal
Ulil Abshar Abdalla juga menyampaikan pidato kebudayaannya di Graha
Bakti Budaya TIM.
Jika pada tahun 1992 lalu Nurcholish Madjid menyampaikan pidato
berjudul "Beberapa Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia",
maka pada Selasa lalu, di tengah ratusan hadirin yang tergabung dalam
Forum Pluralisme Agama, Ulil menyampaikan pidato dengan dengan tema
yang tak jauh berbeda. Teks pidato Ulil berjumlah sebelas halaman
diberi judul "Sejumlah Refleksi Tentang Kehidupan Sosial Keagamaan
Kita Saat Ini."
...fundamentalisme adalah sama berbahayanya dengan narkotika. Bahkan,
penyakit fundamentalisme jauh lebih berbahaya daripada narkotika, kata
mendiang Cak Nur...
Pidato Cak Nur pada 1992 silam mendapat reaksi keras dari umat Islam.
Dalam pidato tersebut Cak Nur mengutuk sikap intoleransi dan
menganggap fundamentalisme sama berbahayanya dengan narkotika. Berikut
kutipan isi pidato Cak Nur:
"…Bagaimanapun, kultus dan fundamentalisme hanyalah pelarian dalam
keadaan tidak berdaya. Sebagai sesuatu yang hanya memberi hiburan
ketenangan semu atau palliative, kultus dan fundamentalisme adalah
sama berbahayanya dengan narkotika. Namun, narkotika menampilkan
bahaya hanya melalui pribadi yang tidak memiliki kesadaran penuh
('teler'), baik secara perseorangan maupun kelompok (sehingga tidak
akan menghasilkan sesuatu 'gerakan' sosial dengan suatu bentuk
kedisiplinan keanggotaan para pengguna narkotika—bukan keanggotaan
sindikat para penjualnya.Adapun kultus dan fundamentalisme dengan
sendirinya melahirkan gerakan dengan disiplin yang tinggi. Maka,
penyakit yang terakhir ini adalah jauh lebih berbahaya dari yang
pertama… Sebagaimana mereka memandang narkotika dan alkoholisme
sebagai ancaman kepada kelangsungan daya tahan bangsa, mereka juga
berkeyakinan bahwa kultus dan fundamentalisme adalah ancaman-ancaman
yang tidak kurang gawatnya."
Pidato Cak Nur soal fundamentalisme dikuatkan lagi oleh pernyataanya
dalam sebuah acara seminar sehari bertema "Agama dan Pendidikan
Perdamaian" di IKIP Jakarta, tahun 1996. Cak Nur yang dikenal sebagai
penarik gerbong sekularisasi di Indonesia menyatakan bahwa fanatisme
pada agama adalah sumber konflik dalam hubungan sosial di masyarakat.
Agama menjadi sumber konflik menurutnya, karena para penganut agama
berpendirian hanya agamanyalah yang paling benar.
Puluhan tahun kemudian, Ulil Abshar Abdalla, sosok yang pada malam itu
disambut gegap gempita bak mujaddid oleh kalangan liberal,
menyampaikan pidato yang tak kalah kontroversinya dengan pidato Cak
Nur pada masa lalu. Ulil yang akan mencalonkan diri sebagai Ketua PBNU
dalam muktamar Nahdlatul Ulama Maret mendatang mengatakan," kita harus
selalu awas akan dampak-dampak negatif dari fenomena kembalinya agama
itu. Sebagaimana kita lihat selama ini, kebangkitan agama bukanlah
peristiwa yang seluruhnya mengandung aspek positif," ujarnya.
...Al-Qur'an dan Sunnah harus dipahami ulang jika keadaan berubah, kata Ulil...
Ulil juga mengeritik pemikiran kelompok yang mengklaim dirinya sebagai
Salafi dengan mengatakan ada beberapa kelemahan mendasar dari ajaran
yang dipegang oleh kelompok tersebut. Kelemahan pertama, kata Ulil,
adalah adanya asumsi bahwa ajaran-ajaran dari masa lampau seluruhnya
masih memadai untuk menghadapi masalah yang dihadapi saat ini."
Gerakan ini sama sekali tidak atau kurang menyadari adanya kaitan yang
tak terelakkan antara teks dan konteks yang membentuknya," kata Ulil.
Ulil menyatakan, Al-Qur'an dan Sunnah harus dipahami ulang jika
keadaan berubah. Karena itu bagi Ulil, adanya keyakinan bahwa teks
Qur'an dan Sunnah yang dipandang sebagai "penghenti perbincangan" dan
"palu" terakhir dalam memutuskan segala persoalan adalah hal yang
tidak sehat bagi kehidupan beragama. Kelemahan kedua dari kelompok
Salafi, kata Ulil, adalah anggapan bahwa sebuah teks (wahyu, red)
adalah terang benderang, tidak membutuhkan penafsiran yang
kontekstual. Dan kelemahan ketiga, jelasnya, adanya kecenderungan
"absolutisme penafsiran" dari kelompok Salafi. "Kecenderungan ini
membawa akibat samping yang negatif dalam kehidupan sosial," tegasnya.
...jika hukum-hukum agama dipandang sebagai ketentuan yang telah
selesai dan tidak boleh diutak-atik, maka kita akan dihadapkan pada
jalan buntu, kata Ulil...
Dengan bahasa kiasan, Ulil yang malam itu tampil dengan wajah
sumringah mengajukan beberapa pertanyaan yang cukup kontroversoal.
Berikut kutipannya:
"Apakah firman Tuhan harus dianggap seperti "es batu" yang dipaksa
terus membeku, tidak boleh mencair karena "cuaca" yang sudah
berubah?... Bagaimana kita bisa menerapkan hukum syariat, misalnya,
dalam konteks politik, sosial, dan budaya yang sudah berubah tanpa
melakukan penafsiran ulang atas hukum itu? Apakah kita bisa menerapkan
apa yang selama ini dianggap sebagai hukum Tuhan seraya mengabaikan
konvensi-konvensi internasional yang disepakati oleh bangsa-bangsa,
misalnya konvensi tentang kebebasan sipil? Apakah kita tetap bertahan
dengan diktum dalam Quran bahwa seorang suami boleh memukul istri
(QS.4:34), sementara kita sekarang memiliki hukum yang melarang
kekerasan dalam rumah tangga?....Apakah kita masih harus
mempertahankan diktum lama bahwa seorang laki-laki tidak diperbolehkan
untuk menjabat tangan seorang perempuan non-muhrim hanya karena ada
sebuah hadits yang melarang tindakan semacam itu? Kenapa hukum semacam
itu harus dipertahankan? Apa "rationale-nya"? Apakah alasan yang
mendasarinya? Apakah alasan itu masih relevan sampai sekarang?
Intinya: Apakah hukum-hukum agama yang memperlakukan perempuan secara
diskriminatif masih tetap harus kita pertahankan semata-mata karena
hukum itu berasal dari Tuhan?"
Dalam pidato yang lebih dari satu jam, Ulil dengan tegas menyatakan,
"jika hukum-hukum agama dipandang sebagai ketentuan yang telah selesai
dan tidak boleh diutak-atik, maka kita akan dihadapkan pada jalan
buntu, pada dead-end."
...Jika sosok seperti Ulil yang akan terpilih dalam Muktamar NU nanti,
maka NU yang dikenal berpegang teguh pada tradisi salaf, akan
dijerumuskan ke dalam lubang liberalisme agama yang jauh dari
nilai-nilai salafiyah....
Pidato Ulil Abshar Abdalla dalam rangka memperingati ulang tahun
Jaringan Islam Liberal (JIL) tersebut bisa jadi awal dari kebangkitan
kelompok pengasong paham Sepilis (Sekularisme, Pluralisme,
Liberalisme) pasca meninggalnya Gus Dur yang menyebabkan kelompok
Sepilis seperti anak ayam kehilangan induknya. Tak tertutup
kemungkinan, Ulil yang juga dikenal sebagai pembela kelompok sesat,
akan diplot oleh kelompok liberal untuk menggantikan posisi Gus Dur.
Apalagi, Ulil berusaha terus agar dirinya bisa menduduki tampuk
kepemimpinan nomor satu di Nahdlatul Ulama.
Jika sosok seperti Ulil yang akan terpilih dalam Muktamar NU nanti,
bisa dibayangkan bagaimana nasib NU ke depan. NU yang dikenal
berpegang teguh pada tradisi salaf, akan dijerumuskan ke dalam lubang
liberalisme agama yang jauh dari nilai-nilai salafiyah. Sosok seperti
Ulil, bukan tak mungkin, sedang digadang-gadang secara all out, dengan
dukungan propaganda yang masif, oleh kelompok liberal untuk bisa
menduduki kursi kepemimpinan NU. [artawijaya]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar