KELAHIRAN YESUS (SEJARAH TANGGAL HARI RAYA NATAL)
by: Dr. J.L. Ch. Abineno
Gereja-gereja merayakan Natal pada tanggal 25 Desember. Kebiasaan ini
baru mulai dalam abad ke-4. Sebelum itu Gereja tidak mengenal perayaan
Natal. Terutama karena Gereja tidak tahu dengan pasti bilamana –pada
hari dan tahun berapa– Yesus dilahirkan. Kitab kitab Injil tidak
memuat data data tentang hal itu. Dalam Lukas 2 dikatakan, bahwa pada
waktu Yesus dilahirkan gembala gembala sedang berada "di padang
menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam" (ayat 8). Itu berarti,
bahwa Yesus dilahirkan antara bulan Maret atau April dan bulan
November.
Klemens dari Alexandria mengejek orang orang yang berusaha menghitung
dan menentukan hari kelahiran Yesus. Dalam abad abad pertama hidup
kerohanian anggota anggota jemaat lebih diarahkan kepada kebangkitan
Yesus. Natal tidak mendapat perhatian. Perayaan hari ulang tahun
umumnya –terutama oleh Origenes– dianggap sebagai suatu kebiasaan
kafir: orang orang seperti Firaun dan Herodes yang merayakan hari
ulang tahun mereka. Orang Kristen tidak berbuat demikian: orang
Kristen merayakan hari kematiannya sebagai hari ulang tahunnya.
..Gereja tidak mengenal perayaan Natal. Terutama karena Gereja tidak
tahu dengan pasti bilamana –pada hari dan tahun berapa– Yesus
dilahirkan...
Tetapi di sebelah Timur (= Eropa Timur) orang telah sejak dahulu
memikirkan mukjizat pemunculan Allah dalam rupa manusia. Menurut
tulisan tulisan lama suatu sekte Kristen di Mesir telah merayakan
"pesta Epiphania" (= pesta Pemunculan Tuhan) pada tanggal 4 Januari.
Tetapi yang dimaksudkan oleh sekte ini dengan pesta Epiphania ialah
munculnya Yesus sebagai Anak Allah –pada waktu Ia dibaptis di sungai
Yordan. Gereja sebagai keseluruhan (= Gereja di seluruh Eropa) bukan
saja menganggap baptisan Yesus sebagai Epiphania, tetapi terutama
kelahiranNya di dunia. Sesuai dengan anggapan ini Gereja –pada
permulaan abad ke 4– merayakan pesta Epiphania pada tanggal 6 Januari
sebagai pesta kelahiran dan pesta baptisan Yesus.
Perayaan kedua pesta ini berlangsung pada tanggal 5 Januari malam
(menjelang tanggal 6 Januari) dengan suatu tata ibadah yang indah,
yang terdiri dari Pembacaan Alkitab dan puji pujian (= nyanyian).
Ephraim dari Syria menganggap Epiphania sebagai pesta yang paling
indah. Ia katakan: "Malam perayaan Epiphania ialah malam yang membawa
damai sejahtera dalam dunia. Siapakah yang mau tidur pada malam, di
mana seluruh dunia sedang berjaga jaga?!" Pada malam perayaan
Epiphania semua gedung gereja dihiasi dengan karangan bunga. Pesta ini
khususnya dirayakan dengan gembira di guha Betlehem, di mana Yesus
–menurut kepercayaan orang– dilahirkan.
Di Roma perayaan Natal kemudian –antara tahun 325 dan tahun 354–
beralih dari tanggal 6 Januari ke tanggal 25 Desember. Dalam agama
kafir pada waktu itu tanggal 25 Desember dirayakan sebagai pesta untuk
menghormati dewa matahari. Kaisar Konstantin menghendaki, supaya agama
Kristen menggunakan praktik praktik keagamaan yang ada pada waktu itu,
Sementara. itu konsili Nicea (325) dengan kuat menggarisbawahi, bahwa
Yesus sejak lahirNya adalah Anak Allah. Hal ini mendorong Gereja untuk
merayakan hari ulang tahun (= dies natalis) Yesus sebagai suatu pesta
tersendiri, lepas dari pesta baptisanNya.
..Di Roma perayaan Natal kemudian beralih dari tanggal 6 Januari ke
tanggal 25 Desember. Dalam agama kafir pada waktu itu tanggal 25
Desember dirayakan sebagai pesta untuk menghormati dewa matahari...
Untuk itu Gereja menggantikan pesta kafir –pesta dewa matahari– dengan
"pesta Kristen": "pesta Natal Yesus Kristus" sebagai Terang dunia.
Tetapi pengaruh pesta kafir ini lama sekali nampak dalam pesta Natal.
Begitu rupa, sehingga Paus Leo –dalam abad ke 5– harus menasihatkan
orang-orang Kristen pada waktu itu supaya mereka jangan merayakan
pesta dewa matahari, tetapi Natal Yesus Kristus.
Dari Roma perayaan Natal pada tanggal 25 Desember disebarkan ke
seluruh dunia. juga ke Indonesia. Jadi yang kita rayakan pada tanggal
25 Desember bukanlah suatu tanggal historis.. (Dr. J.L. Ch. Abineno,
Buku Katekisasi Perjanjian Baru I, BPK Gunung Mulia, Jakarta, Cet. II,
1987, hlm. 14-16). [taz/voa-islam.com]
by: Dr. J.L. Ch. Abineno
Gereja-gereja merayakan Natal pada tanggal 25 Desember. Kebiasaan ini
baru mulai dalam abad ke-4. Sebelum itu Gereja tidak mengenal perayaan
Natal. Terutama karena Gereja tidak tahu dengan pasti bilamana –pada
hari dan tahun berapa– Yesus dilahirkan. Kitab kitab Injil tidak
memuat data data tentang hal itu. Dalam Lukas 2 dikatakan, bahwa pada
waktu Yesus dilahirkan gembala gembala sedang berada "di padang
menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam" (ayat 8). Itu berarti,
bahwa Yesus dilahirkan antara bulan Maret atau April dan bulan
November.
Klemens dari Alexandria mengejek orang orang yang berusaha menghitung
dan menentukan hari kelahiran Yesus. Dalam abad abad pertama hidup
kerohanian anggota anggota jemaat lebih diarahkan kepada kebangkitan
Yesus. Natal tidak mendapat perhatian. Perayaan hari ulang tahun
umumnya –terutama oleh Origenes– dianggap sebagai suatu kebiasaan
kafir: orang orang seperti Firaun dan Herodes yang merayakan hari
ulang tahun mereka. Orang Kristen tidak berbuat demikian: orang
Kristen merayakan hari kematiannya sebagai hari ulang tahunnya.
..Gereja tidak mengenal perayaan Natal. Terutama karena Gereja tidak
tahu dengan pasti bilamana –pada hari dan tahun berapa– Yesus
dilahirkan...
Tetapi di sebelah Timur (= Eropa Timur) orang telah sejak dahulu
memikirkan mukjizat pemunculan Allah dalam rupa manusia. Menurut
tulisan tulisan lama suatu sekte Kristen di Mesir telah merayakan
"pesta Epiphania" (= pesta Pemunculan Tuhan) pada tanggal 4 Januari.
Tetapi yang dimaksudkan oleh sekte ini dengan pesta Epiphania ialah
munculnya Yesus sebagai Anak Allah –pada waktu Ia dibaptis di sungai
Yordan. Gereja sebagai keseluruhan (= Gereja di seluruh Eropa) bukan
saja menganggap baptisan Yesus sebagai Epiphania, tetapi terutama
kelahiranNya di dunia. Sesuai dengan anggapan ini Gereja –pada
permulaan abad ke 4– merayakan pesta Epiphania pada tanggal 6 Januari
sebagai pesta kelahiran dan pesta baptisan Yesus.
Perayaan kedua pesta ini berlangsung pada tanggal 5 Januari malam
(menjelang tanggal 6 Januari) dengan suatu tata ibadah yang indah,
yang terdiri dari Pembacaan Alkitab dan puji pujian (= nyanyian).
Ephraim dari Syria menganggap Epiphania sebagai pesta yang paling
indah. Ia katakan: "Malam perayaan Epiphania ialah malam yang membawa
damai sejahtera dalam dunia. Siapakah yang mau tidur pada malam, di
mana seluruh dunia sedang berjaga jaga?!" Pada malam perayaan
Epiphania semua gedung gereja dihiasi dengan karangan bunga. Pesta ini
khususnya dirayakan dengan gembira di guha Betlehem, di mana Yesus
–menurut kepercayaan orang– dilahirkan.
Di Roma perayaan Natal kemudian –antara tahun 325 dan tahun 354–
beralih dari tanggal 6 Januari ke tanggal 25 Desember. Dalam agama
kafir pada waktu itu tanggal 25 Desember dirayakan sebagai pesta untuk
menghormati dewa matahari. Kaisar Konstantin menghendaki, supaya agama
Kristen menggunakan praktik praktik keagamaan yang ada pada waktu itu,
Sementara. itu konsili Nicea (325) dengan kuat menggarisbawahi, bahwa
Yesus sejak lahirNya adalah Anak Allah. Hal ini mendorong Gereja untuk
merayakan hari ulang tahun (= dies natalis) Yesus sebagai suatu pesta
tersendiri, lepas dari pesta baptisanNya.
..Di Roma perayaan Natal kemudian beralih dari tanggal 6 Januari ke
tanggal 25 Desember. Dalam agama kafir pada waktu itu tanggal 25
Desember dirayakan sebagai pesta untuk menghormati dewa matahari...
Untuk itu Gereja menggantikan pesta kafir –pesta dewa matahari– dengan
"pesta Kristen": "pesta Natal Yesus Kristus" sebagai Terang dunia.
Tetapi pengaruh pesta kafir ini lama sekali nampak dalam pesta Natal.
Begitu rupa, sehingga Paus Leo –dalam abad ke 5– harus menasihatkan
orang-orang Kristen pada waktu itu supaya mereka jangan merayakan
pesta dewa matahari, tetapi Natal Yesus Kristus.
Dari Roma perayaan Natal pada tanggal 25 Desember disebarkan ke
seluruh dunia. juga ke Indonesia. Jadi yang kita rayakan pada tanggal
25 Desember bukanlah suatu tanggal historis.. (Dr. J.L. Ch. Abineno,
Buku Katekisasi Perjanjian Baru I, BPK Gunung Mulia, Jakarta, Cet. II,
1987, hlm. 14-16). [taz/voa-islam.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar