Oleh : DR. Adian Husaini, M.A.
Pada bagian sebelumnya telah dibahas sekilas persoalan nama Tuhan
dalam agama Kristen. Kaum Kristen memang sudah beratus-ratus tahun
lalu menggunakan kata "Allah" di negeri-negeri Arab dan juga di
wilayah Melayu-Indonesia. Tetapi, ada peraturan di Malaysia yang sejak
tahun 1980-an sudah melarang kaum Kristen menggunakan kata Allah dan
sejumlah istilah Islam lain. Selama itu sudah ada sejumlah tokoh
Kristen yang protes tetapi tidak sampai membawa kasusnya ke
pengadilan. Kasus ini semakin merebak dan menyedot perhatian
masyarakat internasional, setelah kaum Katolik membawa kasus ini ke
Pengadilan.
Ketersinggungan dalam soal penggunaan istilah dan simbol-simbol agama
bukan hal baru di kalangan umat beragama. Kaum Muslim di Malaysia
memandang, kata Allah sudah menjadi bagian yang sah dari istilah dan
simbol agama Islam. Saya pernah mendengar cerita dari seorang tokoh
Hindu, bahwa kaum Hindu Bali pernah memprotes kaum Kristen yang
mendirikan lembaga Pendidikan dengan menggunakan nama Om Swastiastu.
Begitu juga kaum Hindu berkeberatan dengan sebutan "Sang Hyang Widhi
Yesus".
. . . bahwa kaum Hindu Bali pernah memprotes kaum Kristen yang
mendirikan lembaga Pendidikan dengan menggunakan nama "Om Swastiastu".
Begitu juga kaum Hindu berkeberatan dengan sebutan "Sang Hyang Widhi
Yesus".
Bayangkan, bagaimana perasaan kaum Muslim, jika kaum Kristen di
Indonesia dan Malaysia membangun gereja dengan nama "Gereja At-Taqwa",
"Gereja Muhammad", "Gereja Imam Syafii", "Gereja Hamba Allah" atau
"Gereja Nahdhatul-Ummah"? Atau, bagaimana jika ada orang Kristen
membangun Gereja dengan simbol "Allah" dalam tulisan Arab di atas
atapnya? Bukankah dalam Bibel berbahasa Arab saat ini juga digunakan
kata Allah, persis seperti dalam Al Quran? Meskipun secara juridis
formal, masalah-masalah semacam ini belum diatur, tetapi ada masalah
sensitivitas yang harus diperhatikan dalam hubungan antar umat
beragama.
Berbeda dengan kaum Kristen yang sering mengakomodasi unsur-unsur
budaya dan lokalitas dalam simbol dan ritual keagamaan, umat Islam
memiliki tradisi penggunaan istilah yang ketat. Sulit dibayangkan, ada
kaum Muslim di Indonesia atau di Malaysia akan mendirikan Masjid
dengan nama "Masjid Haleluya" atau "Masjid Israel". Kita tidak dapat
membayangkan -- bahkan untuk orang Islam yang mengaku liberal atau
Pluralis sekalipun -- akan membangun masjid dengan nama "Masjid Hamba
Yahweh".
Lepas dari persoalan sensitivitas penggunaan istilah-istilah dan
simbol-simbol keagamaan, soal penggunaan kata "Allah", ada perbedaan
menarik antara di Malaysia dan di Indonesia. Berbeda dengan di
Malaysia, di Indonesia gugatan penggunaan kata "Allah" oleh kaum
Kristen, justru muncul dari kalangan Kristen sendiri. Kontroversi
soal penggunaan kata "Allah" belakangan semakin merebak ke permukaan
menyusul merebaknya kelompok-kelompok Kristen yang menolak penggunaan
nama Allah dan menggantinya dengan Yahweh.
Tahun 1999, muncul kelompok Kristen yang menamakan dirinya Iman Taqwa
Kepada Shirathal Mustaqim (ITKSM) yang melakukan kampanye agar kaum
Kristen menghentikan penggunaan lafadz Allah. Kelompok ini kemudian
mengganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah (BYH). Kelompok ini
mengatakan: "Allah adalah nama Dewa Bangsa Arab yang mengairi bumi.
Allah adalah nama Dewa yang disembah penduduk Mekah.'' Kelompok ini
juga menerbitkan Bibel sendiri dengan nama Kitab Suci Torat dan Injil
yang pada halaman dalamnya ditulis Kitab Suci 2000.
Kitab Bibel versi BYH ini mengganti kata "Allah" menjadi "Eloim", kata
"TUHAN" diganti menjadi "YAHWE"; kata "Yesus" diganti dengan "Yesua",
dan "Yesus Kristus" diubah menjadi "Yesua Hamasiah". Berikutnya,
muncul lagi kelompok Kristen yang menamakan dirinya "Jaringan
Gereja-gereja Pengagung Nama Yahweh" yang menerbitkan Bibel sendiri
dengan nama "Kitab Suci Umat Perjanjian Tuhan ini". Kelompok ini
menegaskan, "Akhirnya nama "Allah" tidak dapat dipertahankan lagi."
Kelompok BYH mengedarkan brosur berjudul "Siapakah Yang Bernama Allah
Itu?" yang isinya mengecam penggunaan kata Allah dalam Kristen. Mereka
menyebut penggunaan kata "Allah" dalam Kristen sebagai satu bentuk
penghujatan kepada Tuhan. Kaum Kristen mereka seru dengan
sungguh-sungguh untuk meninggalkan penggunaan kata "Allah":
"Stop! Stop! Stu-u-op! Jangan diteruskan hujatan Anda. Kalau Anda
semula tidak tahu, pasti akan diampuni, tetapi sekarang melalui
pembacaan traktat pelayanan ini, Anda menjadi tahu. Maka jangan
diterus-teruskan! ... Maka, janganlah terlibat di dalam penghujatan
Dia. (Hentikan hujatan Anda sekarang juga)." (dikutip dari buku
Herlianto, Siapakah yang Bernama Allah Itu?, hal. 4).
Gara-gara mencuatnya gugatan penggunaan kata "Allah" oleh kaum
Kristen, di Indonesia, banyak diterbitkan buku yang membahas tentang
kontroversi penggunaan "nama Allah" dalam Kristen, seperti buku: I.J.
Satyabudi, Kontroversi Nama Allah, (Jakarta: Wacana Press, 2004);
Bambang Noorsena, The History of Allah, (Yogya: PBMR Andi, 2005);
Herlianto, Siapakah Yang Bernama Allah Itu? (Jakarta: BPK, 2005,
cetakan ke-3), dan Pdt. A.H. Parhusip, Waspadalah terhadap Sekte Baru,
Sekte Pengagung Yahweh, (2003); juga Herlianto, Gerakan Nama Suci,
Nama Allah yang Dipermasalahkan, (Jakarta: BPK, 2009); Samin Sitohang,
Siapakah Nama Sang Pencipta? Menjawab Kontroversi Sekutar Pemakaian
Nama Allah dalam Alkitab, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2003).
Karena merebaknya kontroversi tentang nama Tuhan tersebut, dan juga
tentang boleh tidaknya penggunaan kata "Allah" dalam Bibel edisi
bahasa Indonesia, Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) -- sebagai lembaga
resmi penerjemah Bibel edisi bahasa Indonesia – membuat penjelasan:
"el, elohim, aloah adalah nama pencipta alam semesta dalam bahasa
Ibrani, bahasa asli Alkitab Perjanjian Lama. Dalam bahasa Arab, allah
(bentuk ringkas dari al ilah) merupakan istilah yang seasal (cognate)
dengan kata Ibrani el, elohim, aloah. Jauh sebelum kehadiran agama
Islam, orang Arab yang beragama Kristen sudah menggunakan (baca:
menyebut) allah ketika mereka berdoa kepada el, elohim, aloah. Bahkan
tulisan-tulisan kristiani dalam bahasa Arab pada masa itu sudah
menggunakan allah sebagai padan kata untuk el, elohim, aloah.... Dari
dahulu sampai sekarang, orang Kristen di Mesir, Libanon, Iraq,
Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura dan berbagai negara di Afrika
yang dipengaruhi oleh bahasa Arab, terus menggunakan (baca: menyebut)
kata allah – jika ditulis biasanya menggunakan huruf kapital "Allah"
untuk menyebut Pencipta Alam Semesta dan Bapa Tuhan kita Yesus
Kristus, baik dalam ibadah maupun dalam tulisan-tulisan. Dalam
terjemahan-terjemahan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, kata "Allah"
sudah digunakan terus menerus sejak terbitan Injil Matius dalam bahasa
Melayu yang pertama (terjemahan Albert Cornelis Ruyl, 1692), begitu
juga dalam Alkitab Melayu yang kedua (terjemahan Hillebrandus
Cornelius Klinkert, 1879 sampai saat ini."
Penjelasan LAI, tertanggal 21 Januari 1999, ditandantangani oleh
Sekretaris Umumnya, Supardan. Surat LAI ini dikutip dari buku
Waspadalah terhadap Sekte Baru, Sekte Pengagung Yahweh, karya Pdt.
A.H. Parhusip. Sekte Pengagung Yahweh yang disebut di sini memang
membuat geram berbagai kalangan dalam Kristen, sampai-sampai Pdt.
Parhusip menulis ungkapan yang sangat keras: "Saya tahu kebusukan dan
kejahatan Pengagung YAHWEH, yakni: Hanya untuk menghilangkan sebutan
"Allah" dari Alkitab, maka dibuatlah 'Kitab Suci' yaitu Alkitab palsu
yang di dalamnya sebutan "Tuhan YAHWEH" (=Tuhan TUHAN) begitu mubazir.
Bodoh! Untuk itulah saya serukan: Kalau mau bodoh, bodohlah; tetapi
jangan terlalu bodohlah kawan!"
Meskipun LAI sudah mengeluarkan edaran resmi, para penggugat nama
Allah dalam Kristen terus bermunculan. Mereka juga terus menerbitkan
buku-buku, panflet, bahkan Bibel sendiri yang menggugat penggunaan
kata Allah untuk nama Tuhan mereka. Sebuah buku yang berjudul "Allah"
dalam Kekristenan, Apakah Salah, karya Rev. Yakub Sulistyo, S.Th.,
M.A., (2009), menguraikan kekeliruan kaum Kristen di Indonesia yang
menggunakan nama Allah untuk memanggil Tuhan mereka. Buku ini menulis
imbauan kaum Kristen Indonesia untuk tidak lagi menggunakan kata
Allah:
"Kamus Theologia Kristen sendiri sudah sangat jelas menulis bahwa:
Allah itu berasal dari Arab yang artinya Keberadaan Tertinggi dalam
agama Islam, jadi kalau Anda sebagai orang Kristen atau Katolik
(Nasrani) yang baik, Anda seharusnya menghormati iman orang lain (umat
Islam), dengan tidak mencampur-adukkan dengan iman Nasrani, sehingga
menjadi Sinkretisme… Sebagai umat Nashrani, carilah KESELAMATAN sesuai
kitab sucinya sendiri dengan tidak takut menghadapi institusi duniawi
seperti Sinode, Pimpinan gereja yang tidak memahami Firman Tuhan, merk
Gereja dan lain-lain. Jangan takut dipecat demi kebenaran hakiki.
Tuhan Yahweh di dalam Nama Yeshua HaMashiakh memberkati Anda." (Yakub
Sulistyo, "Allah" dalam Kekristenan, Apakah Salah, (2009), hal. 43.
Buku ini tidak mencantumkan nama penerbit).
Bahkan, kaum Kristen penolak nama "Allah" ini juga kemudian lagi-lagi
menerbitkan Bibel versi mereka sendiri, yang membuang semua kata Allah
di dalamnya. (Lihat: Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru –
Indonesian Literal Translation (ILT), terbitan Yayasan Lentera Bangsa,
Jakarta, 2008). Sebagai contoh, pada Matius 4: 10, versi Kitab Suci
ILT, tertulis: "Kemudian YESUS berkata kepadanya, "Enyahlah hai Satan!
Sebab telah tertulis: Engkau harus menyembah YAHWEH, Elohimmu, dan
kepada-Nya sajalah engkau harus beribadah." Sedangkan dalam Alkitab
versi LAI (2007) tertulis: "Maka berkatalah Yesus kepadanya:
"Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan,
Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti." Contoh lain,
dalam Alkitab ILT Kitab Ulangan 10:17, tertulis: "Sebab YAHWEH,
Elohimmu, Dialah Elohim atas segala ilah dan Tuhan atas segala tuan,
Elohim yang besar yang perkasa dan yang ditakuti, yang tidak memandang
muka, juga tidak menerima suap." Sedangkan dalam versi LAI (2007),
ayat itu ditulis: "Sebab TUHAN, Allahmulah Allah segala allah dan
Tuhan segala tuhan, Allah yang besar, kuat dan dahsyat, yang tidak
memandang bulu atau pun menerima suap."
Jika kaum Kristen di Indonesia merujuk kepada Bibel versi Arab, maka
persoalan nama dan penyebutan Tuhan juga menjadi rumit sebab huruf
Arab – sebagaimana huruf Ibrani tidak mengenal huruf kapital atau
huruf kecil. Sebagai contoh, sebuah Bibel versi Arab-Inggris terbitan
International Bible Society (1999), menulis Kitab Ulangan 10:17
sebagai berikut: "Li-anna al-rabba ilahukum huwa ilahu al-Aalihati wa
rabbu al-arbaabi, al-ilahu al-'adhiimu, al-jabbaaru al-mahiibu,
al-ladziy laa yuhaabiy wajha ahadin, wa laa yastarsyiy. (Dalam sebuah
Bibel bahasa Arab terbitan London tahun 1866, ayat itu ditulis sebagai
berikut: Min ajli anna al-rabba ilaahukum huwa ilaahu al-Aalihati wa
rabbu al-arbaabi ilaahun 'adhiimun… ). Dalam teks bahasa Inggris
(versi New International Version) ayat itu ditulis sebagai berikut:
"For the LORD your God is God of gods and Lords of lords, the great
God, mighty and awesome, who shows no partiality."
Menyimak perdebatan seputar penggunaan nama Allah dalam Kristen,
tampaknya, nama "Allah" memang merupakan nama Tuhan yang sudah
digunakan oleh kaum-kaum sebelum Islam, di kawasan Arab. Karena
misteri penyebutan nama Tuhan dalam Perjanjian Lama (YHWH) tidak
terpecahkan, maka kaum Kristen di Arab – tampaknya -- juga
menyesuaikan diri dengan tradisi di situ dalam menyebut Tuhan, yaitu
dengan menggunakan kata Allah. Tetapi, kaum Kristen tetap memberikan
catatan, bahwa kata "Allah" bukanlah sebuah nama diri, melainkan
hanya sebutan untuk Tuhan di daerah Arab. Begitu juga dengan
konsepnya, Allah adalah Tuhan Tritunggal.
Pandangan Kristen terhadap "Allah" semacam itu jelas berbeda dengan
pandangan Islam terhadap Allah. Sebab, dalam Islam, Allah adalah nama
Tuhan, dan konsepnya pun bukan Tritunggal, tetapi Allah yang SATU,
tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang
setara dengan Dia. Dalam pandangan Islam, sesuai wahyu yang diturunkan
Allah kepada Nabi Muhammad saw, nama "Allah" inilah yang dipilih oleh
Allah untuk memperkenalkan diri-Nya kepada manusia, melalui utusan-Nya
yang terakhir, yakni Nabi Muhammad saw. Melalui Nabi Muhammad saw
juga, dikabarkan bahwa Isa a.s. adalah seorang Nabi, dan bukan Tuhan
atau anak Tuhan. Nabi Isa a.s. juga ditegaskan tidak mati di tiang
salib untuk menebus dosa manusia.
Jadi, meskipun nama "Allah" sudah digunakan oleh kaum musyrik Arab
sebelum kedatangan Islam, tetapi Al Quran tetap menggunakan nama ini.
Hanya saja, nama Allah yang digunakan oleh Al Quran sudah dibersihkan
konsepnya dari unsur-unsur syirik, seperti dipahami oleh kaum Kristen
dan kaum musyrik Arab. Dengan kata lain, nama Allah itu sudah
di-Islam-kan konsepnya. Nama bisa saja sama, tetapi konsepnya berbeda.
Dan satu-satunya jalan untuk memahami kemurnian lafadz dan makna Allah
tersebut, haruslah dilakukan melalui pemahaman terhadap wahyu Allah
yang diturunkan kepada Nabi terakhir, yakni Muhammad saw. Karena itu,
menurut pandangan Islam, bisa dipahami, untuk mengenal Allah secara
murni (tauhid), maka tidak bisa tidak harus mengakui kenabian Muhammad
saw. Sebab, Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah terakhir, yang
bertugas menjelaskan siapa Allah, nama dan sifat-sifat-Nya, dan cara
untuk beribadah kepada-Nya.
Itu konsepsi Islam tentang nama Tuhan, yang memang berbeda dengan
konsepsi Kristen tentang nama Tuhan. Dalam pandangan Islam, setelah
diutusnya Nabi Muhammad saw kepada seluruh manusia, maka sebenarnya
kaum Kristen mengakui dan mengimani kenabian Muhammad saw, sebagaimana
dipesankan Nabi Isa a.s. (yang artinya): "Dan ingatlah ketika Isa ibn
Maryam berkata, wahai anak keturunan Israel, sesungguhnya aku adalah
utusan Allah kepada kalian semua, membenarkan apa yang telah ada pada
kita, yaitu Taurat dan memberikan kabar gembira (akan datangnya)
seorang Rasul yang bernama Ahmad." (QS 61:6).
Jadi, dalam pandangan Islam, Isa a.s. adalah Nabi, utusan Allah,
sebagaimana para nabi sebelumnya. Karena itulah, ketika kaum Kristen
mengangkat Isa a.s. sebagai Tuhan, maka Allah murka (QS 19:88-91).
Sebaliknya, bagi kaum Kristen, Yesus dipandang sebagai juru selamat,
dan satu-satunya jalan keselamatan menuju Tuhan. Karena itu, semua
manusia harus diusahakan untuk mengenal Yesus dan dibaptis.
. . . dalam pandangan Islam, Isa a.s. adalah Nabi, utusan Allah,
sebagaimana para nabi sebelumnya. Karena itulah, ketika kaum Kristen
mengangkat Isa a.s. sebagai Tuhan, maka Allah murka
Kaum Kristen juga memiliki pandangan yang berbeda dengan Islam tentang
nama Tuhan. Sebagian mereka memandang, bahwa nama Tuhan diserahkan
kepada budaya setempat. Maka, di Barat, kaum Kristen memanggil God
atau Lord, di Arab lain lagi, dan di Indonesia juga berbeda. Konsepsi
ini yang digugat sejumlah kelompok Kristen lain, seperti "Jaringan
Gereja Pengagung Nama Yahweh", yang menyatakan, bahwa nama Tuhan sudah
disebutkan dalam Bibel, yaitu Yahweh.
Demi Misi Kristen
Memang, pertanyaanya, mengapa kaum Kristen di wilayah Melayu-Indonesia
menggunakan kata "Allah" untuk menyebut nama Tuhan mereka? Padahal,
Kristen yang datang ke Indonesia sesungguhnya berasal dari Barat, yang
tidak mengenal kata Allah. Salah satu alasannya, seperti disebutkan
oleh Samin Sitohang dalam bukunya, Siapakah Nama Sang Pencipta?
Menjawab Kontroversi Sekitar Pemakaian Nama Allah dalam Alkitab,
adalah "pertimbangan misiologis". Jadi, karena penduduk di wilayah
Melayu-Nusantara ini sudah terbiasa menyebut nama Tuhan dengan Allah,
karena mayoritasnya Muslim, maka dipakailah kata Allah untuk menyebut
Tuhan Kristen tersebut. Samin Sitohang menulis tentang hal ini:
"Jadi, jika Alkitab bahasa Indonesia menggunakan Allah untuk nama Sang
Pencipta, itu berarti Roh Allah sedang menyiapkan umat-Nya yang
berasal dari golongan lain untuk menerima Injil karena mereka tidak
perlu harus membuang Allah untuk mendapatkan nama Sang Pencipta yang
baru. Sebaliknya, jika Alkitab Indonesia memakai Elohim, nama ini akan
sukar diterima. Memang secara teologis dan moral, nama itu tidak
keberatan untuk dipakai. Tetapi dari sudut pandang misiologis,
penggunaan nama itu akan menjadi sia-sia. Lebih jauh, jika Alkitab
Indonesia menggunakan Elohim, maka dari sudut kesaksian Kristiani,
nama itu akan merusak citra Injil. Sebab, semua orang sudah tahu bahwa
nama Sang Pencipta bagi umat Kristen Indonesia adalah Allah, bahkan
nama ini sudah dipakai umat Kristen di Arab zaman pra-Islam. Lalu jika
berganti menjadi Elohim, orang luar akan berkata bahwa nama Allah umat
Kristen tidak konsisten. Jika demikian halnya, bagaimana jadinya nilai
Injil di mata orang asing, khususnya umat Islam? Mereka akan berkata,
"Dahulu nama Allah kalian Allah, sekarang Elohim, dan besok siapa
lagi? Bukankah hal ini akan menyesatkan pemikiran mereka dengan
keyakinan bahwa ternyata tidak ada kepastian di dalam "agama" Kristen?
Disamping itu, umat Kristen sendiri pun akan dan memang sudah banyak
kebingungan atas sikap Kelompok Penggagas yang memaksakan penggunaan
Elohim menggantikan Allah." (Samin Sitohang, Siapakah Nama Sang
Pencipta? Menjawab Kontroversi Sekutar Pemakaian Nama Allah dalam
Alkitab, hal. 100-101).
Penggunaan kata Allah adalah "pertimbangan misiologis", karena Kristen
yang datang ke Indonesia sesungguhnya berasal dari Barat, yang tidak
mengenal kata Allah.
Menurut Samin Sitohang, meskipun nama Allah digunakan oleh penganut
agama yang berbeda, maka akan memiliki akibat yang berbeda. Jika kaum
Kristen yang menggunakan nama Allah, maka roh Kristus sendiri yang
datang, sesuai dengan 1 Korintus 8:5,6, tidak ada lagi allah selain
Allah yang dikenal dalam Yesus Kristus. "Tetapi, jika orang bukan
Kristen memanggil nama itu, tentu Ia tidak ada di situ, alias kosong.
Jika demikian halnya, ketika orang bukan Kristen memanggil Allah,
bukan mustahil justru roh antikristus akan datang menyusup,
seolah-olah doa mereka dijawab oleh Sang Pencipta, padahal Ia tidak
mendengar doa-doa mereka. Lalu bukan mustahil kesempatan itu
dimanfaatkan oleh Iblis, karena Iblis pun bisa berpura-pura baik
untuk menyamar sebagai malaikat terang (2 Kor. 11:13-15)," demikian
tulis Samin Sitohang, seorang pendeta Gereja Metodis Injili dan dosen
Institut Alkitab Tiranus.
Samin Sitohang juga berpendapat, bahwa "siapa pun nama yang diberikan
oleh masyarakat budaya tertentu kepada Sang Pencipta, asalkan nama itu
mencerminkan karakter-Nya sebagai Sang Pencipta, Yang Maha Kuasa, Yang
Maha Suci, dan Yang Mahabaik, dapat dipahami sebagai bagian dari
rencana Sang Pencipta untuk meraih segala suku bangsa agar percaya
kepada-Nya."
Konsep Kristen tentang nama Tuhan ini sangat berbeda dengan Islam,
yang mensyaratkan, nama Tuhan haruslah berdasarkan wahyu, bukan
berdasarkan tradisi atau kesepakatan suatu masyarakat. Nama Tuhan
dalam Islam adalah masalah penting dan mendasar. Dalam ajaran Islam,
dikenal nama-nama Tuhan yang semuanya berasal dari wahyu, sehingga
umat Islam seluruh dunia dan sepanjang zaman, memanggil nama Tuhan
dengan ungkapan yang sama, sebagaimana diajarkan dalam Al Quran,
seperti "Ya Allah", "Ya-Rahman", "Ya-Rahim", "Ya Ghafur", dan dengan
nama-nama lain yang dikenal sebagai Asmaul Husna. Karena itu, nama
Tuhan dalam Islam bukanlah hal yang spekulatif, tetapi merupakan satu
kepastian berdasarkan wahyu.
Sebaliknya, nama YAHWEH yang diajukan oleh kelompok-kelompok Kristen
penolak kata "Allah", juga tak kurang kontroversialnya. I.J.
Satyabudi, seorang penulis Kristen, mengritik keras sejumlah kelompok
Kristen yang mengklaim bahwa nama Tuhan orang Kristen adalah Yahweh.
Ia menulis: "Orang-orang Yahudi di seluruh dunia tertawa
terbahak-bahak ketika menyaksikan orang-orang Kristen mengklaim
dirinya lebih mengetahui cara pengucapan nama YHWH dibandingkan umat
Yahudi." (hal. 92).
Jadi, bagaimana seharusnya kaum Kristen memanggil Tuhan mereka.
Jawabnya, seperti dikatakan Pendeta Parhusip:
"Lalu mungkin ada yang bertanya: Siapakah Pencipta itu dan
bagaimanakah kalau kita mau memanggil Pencipta itu? Jawabnya: Terserah
pada Anda! Mau panggil; Pencipta! Boleh! Mau panggil: Perkasa!
Silahkan! Mau panggil: Debata! Boleh! Mau panggil: Allah! Boleh! Mau
panggil: Elohim atau Theos atau God atau Lowalangi atau Tetemanis...!
Silakan! Mau memanggil bagaimana saja boleh, asalkan tujuannya
memanggil Sang Pencipta, yang menciptakan langit dan bumi... Ya,
silakan menyebut dan memanggil Sang Pencipta itu menurut apa yang
ditaruh oleh Pencipta itu di dalam hati Anda, di dalam hati kita
masing-masing. Lihat Roma 2:14-15."
Untuk kasus Malaysia, demi terciptanya kerukunan umat beragama, . . .
agar kaum Kristen tidak lagi menggunakan kata "Allah" untuk menyebut
Tuhan mereka.
Untuk kasus Malaysia, demi terciptanya kerukunan umat beragama,
sebagai Muslim kita juga tentu boleh mengusulkan, agar kaum Kristen
tidak lagi menggunakan kata "Allah" untuk menyebut Tuhan mereka. Toh,
memang tidak ada masalah bagi kaum Kristen untuk memanggil Tuhan
dengan berbagai sebutan selain Allah. Jadi, mengapa harus bertahan
dengan sebutan "Allah"? [Depok, 23 Januari 2010]
(PurWD/voa-islam.com)
Pada bagian sebelumnya telah dibahas sekilas persoalan nama Tuhan
dalam agama Kristen. Kaum Kristen memang sudah beratus-ratus tahun
lalu menggunakan kata "Allah" di negeri-negeri Arab dan juga di
wilayah Melayu-Indonesia. Tetapi, ada peraturan di Malaysia yang sejak
tahun 1980-an sudah melarang kaum Kristen menggunakan kata Allah dan
sejumlah istilah Islam lain. Selama itu sudah ada sejumlah tokoh
Kristen yang protes tetapi tidak sampai membawa kasusnya ke
pengadilan. Kasus ini semakin merebak dan menyedot perhatian
masyarakat internasional, setelah kaum Katolik membawa kasus ini ke
Pengadilan.
Ketersinggungan dalam soal penggunaan istilah dan simbol-simbol agama
bukan hal baru di kalangan umat beragama. Kaum Muslim di Malaysia
memandang, kata Allah sudah menjadi bagian yang sah dari istilah dan
simbol agama Islam. Saya pernah mendengar cerita dari seorang tokoh
Hindu, bahwa kaum Hindu Bali pernah memprotes kaum Kristen yang
mendirikan lembaga Pendidikan dengan menggunakan nama Om Swastiastu.
Begitu juga kaum Hindu berkeberatan dengan sebutan "Sang Hyang Widhi
Yesus".
. . . bahwa kaum Hindu Bali pernah memprotes kaum Kristen yang
mendirikan lembaga Pendidikan dengan menggunakan nama "Om Swastiastu".
Begitu juga kaum Hindu berkeberatan dengan sebutan "Sang Hyang Widhi
Yesus".
Bayangkan, bagaimana perasaan kaum Muslim, jika kaum Kristen di
Indonesia dan Malaysia membangun gereja dengan nama "Gereja At-Taqwa",
"Gereja Muhammad", "Gereja Imam Syafii", "Gereja Hamba Allah" atau
"Gereja Nahdhatul-Ummah"? Atau, bagaimana jika ada orang Kristen
membangun Gereja dengan simbol "Allah" dalam tulisan Arab di atas
atapnya? Bukankah dalam Bibel berbahasa Arab saat ini juga digunakan
kata Allah, persis seperti dalam Al Quran? Meskipun secara juridis
formal, masalah-masalah semacam ini belum diatur, tetapi ada masalah
sensitivitas yang harus diperhatikan dalam hubungan antar umat
beragama.
Berbeda dengan kaum Kristen yang sering mengakomodasi unsur-unsur
budaya dan lokalitas dalam simbol dan ritual keagamaan, umat Islam
memiliki tradisi penggunaan istilah yang ketat. Sulit dibayangkan, ada
kaum Muslim di Indonesia atau di Malaysia akan mendirikan Masjid
dengan nama "Masjid Haleluya" atau "Masjid Israel". Kita tidak dapat
membayangkan -- bahkan untuk orang Islam yang mengaku liberal atau
Pluralis sekalipun -- akan membangun masjid dengan nama "Masjid Hamba
Yahweh".
Lepas dari persoalan sensitivitas penggunaan istilah-istilah dan
simbol-simbol keagamaan, soal penggunaan kata "Allah", ada perbedaan
menarik antara di Malaysia dan di Indonesia. Berbeda dengan di
Malaysia, di Indonesia gugatan penggunaan kata "Allah" oleh kaum
Kristen, justru muncul dari kalangan Kristen sendiri. Kontroversi
soal penggunaan kata "Allah" belakangan semakin merebak ke permukaan
menyusul merebaknya kelompok-kelompok Kristen yang menolak penggunaan
nama Allah dan menggantinya dengan Yahweh.
Tahun 1999, muncul kelompok Kristen yang menamakan dirinya Iman Taqwa
Kepada Shirathal Mustaqim (ITKSM) yang melakukan kampanye agar kaum
Kristen menghentikan penggunaan lafadz Allah. Kelompok ini kemudian
mengganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah (BYH). Kelompok ini
mengatakan: "Allah adalah nama Dewa Bangsa Arab yang mengairi bumi.
Allah adalah nama Dewa yang disembah penduduk Mekah.'' Kelompok ini
juga menerbitkan Bibel sendiri dengan nama Kitab Suci Torat dan Injil
yang pada halaman dalamnya ditulis Kitab Suci 2000.
Kitab Bibel versi BYH ini mengganti kata "Allah" menjadi "Eloim", kata
"TUHAN" diganti menjadi "YAHWE"; kata "Yesus" diganti dengan "Yesua",
dan "Yesus Kristus" diubah menjadi "Yesua Hamasiah". Berikutnya,
muncul lagi kelompok Kristen yang menamakan dirinya "Jaringan
Gereja-gereja Pengagung Nama Yahweh" yang menerbitkan Bibel sendiri
dengan nama "Kitab Suci Umat Perjanjian Tuhan ini". Kelompok ini
menegaskan, "Akhirnya nama "Allah" tidak dapat dipertahankan lagi."
Kelompok BYH mengedarkan brosur berjudul "Siapakah Yang Bernama Allah
Itu?" yang isinya mengecam penggunaan kata Allah dalam Kristen. Mereka
menyebut penggunaan kata "Allah" dalam Kristen sebagai satu bentuk
penghujatan kepada Tuhan. Kaum Kristen mereka seru dengan
sungguh-sungguh untuk meninggalkan penggunaan kata "Allah":
"Stop! Stop! Stu-u-op! Jangan diteruskan hujatan Anda. Kalau Anda
semula tidak tahu, pasti akan diampuni, tetapi sekarang melalui
pembacaan traktat pelayanan ini, Anda menjadi tahu. Maka jangan
diterus-teruskan! ... Maka, janganlah terlibat di dalam penghujatan
Dia. (Hentikan hujatan Anda sekarang juga)." (dikutip dari buku
Herlianto, Siapakah yang Bernama Allah Itu?, hal. 4).
Gara-gara mencuatnya gugatan penggunaan kata "Allah" oleh kaum
Kristen, di Indonesia, banyak diterbitkan buku yang membahas tentang
kontroversi penggunaan "nama Allah" dalam Kristen, seperti buku: I.J.
Satyabudi, Kontroversi Nama Allah, (Jakarta: Wacana Press, 2004);
Bambang Noorsena, The History of Allah, (Yogya: PBMR Andi, 2005);
Herlianto, Siapakah Yang Bernama Allah Itu? (Jakarta: BPK, 2005,
cetakan ke-3), dan Pdt. A.H. Parhusip, Waspadalah terhadap Sekte Baru,
Sekte Pengagung Yahweh, (2003); juga Herlianto, Gerakan Nama Suci,
Nama Allah yang Dipermasalahkan, (Jakarta: BPK, 2009); Samin Sitohang,
Siapakah Nama Sang Pencipta? Menjawab Kontroversi Sekutar Pemakaian
Nama Allah dalam Alkitab, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2003).
Karena merebaknya kontroversi tentang nama Tuhan tersebut, dan juga
tentang boleh tidaknya penggunaan kata "Allah" dalam Bibel edisi
bahasa Indonesia, Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) -- sebagai lembaga
resmi penerjemah Bibel edisi bahasa Indonesia – membuat penjelasan:
"el, elohim, aloah adalah nama pencipta alam semesta dalam bahasa
Ibrani, bahasa asli Alkitab Perjanjian Lama. Dalam bahasa Arab, allah
(bentuk ringkas dari al ilah) merupakan istilah yang seasal (cognate)
dengan kata Ibrani el, elohim, aloah. Jauh sebelum kehadiran agama
Islam, orang Arab yang beragama Kristen sudah menggunakan (baca:
menyebut) allah ketika mereka berdoa kepada el, elohim, aloah. Bahkan
tulisan-tulisan kristiani dalam bahasa Arab pada masa itu sudah
menggunakan allah sebagai padan kata untuk el, elohim, aloah.... Dari
dahulu sampai sekarang, orang Kristen di Mesir, Libanon, Iraq,
Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura dan berbagai negara di Afrika
yang dipengaruhi oleh bahasa Arab, terus menggunakan (baca: menyebut)
kata allah – jika ditulis biasanya menggunakan huruf kapital "Allah"
untuk menyebut Pencipta Alam Semesta dan Bapa Tuhan kita Yesus
Kristus, baik dalam ibadah maupun dalam tulisan-tulisan. Dalam
terjemahan-terjemahan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, kata "Allah"
sudah digunakan terus menerus sejak terbitan Injil Matius dalam bahasa
Melayu yang pertama (terjemahan Albert Cornelis Ruyl, 1692), begitu
juga dalam Alkitab Melayu yang kedua (terjemahan Hillebrandus
Cornelius Klinkert, 1879 sampai saat ini."
Penjelasan LAI, tertanggal 21 Januari 1999, ditandantangani oleh
Sekretaris Umumnya, Supardan. Surat LAI ini dikutip dari buku
Waspadalah terhadap Sekte Baru, Sekte Pengagung Yahweh, karya Pdt.
A.H. Parhusip. Sekte Pengagung Yahweh yang disebut di sini memang
membuat geram berbagai kalangan dalam Kristen, sampai-sampai Pdt.
Parhusip menulis ungkapan yang sangat keras: "Saya tahu kebusukan dan
kejahatan Pengagung YAHWEH, yakni: Hanya untuk menghilangkan sebutan
"Allah" dari Alkitab, maka dibuatlah 'Kitab Suci' yaitu Alkitab palsu
yang di dalamnya sebutan "Tuhan YAHWEH" (=Tuhan TUHAN) begitu mubazir.
Bodoh! Untuk itulah saya serukan: Kalau mau bodoh, bodohlah; tetapi
jangan terlalu bodohlah kawan!"
Meskipun LAI sudah mengeluarkan edaran resmi, para penggugat nama
Allah dalam Kristen terus bermunculan. Mereka juga terus menerbitkan
buku-buku, panflet, bahkan Bibel sendiri yang menggugat penggunaan
kata Allah untuk nama Tuhan mereka. Sebuah buku yang berjudul "Allah"
dalam Kekristenan, Apakah Salah, karya Rev. Yakub Sulistyo, S.Th.,
M.A., (2009), menguraikan kekeliruan kaum Kristen di Indonesia yang
menggunakan nama Allah untuk memanggil Tuhan mereka. Buku ini menulis
imbauan kaum Kristen Indonesia untuk tidak lagi menggunakan kata
Allah:
"Kamus Theologia Kristen sendiri sudah sangat jelas menulis bahwa:
Allah itu berasal dari Arab yang artinya Keberadaan Tertinggi dalam
agama Islam, jadi kalau Anda sebagai orang Kristen atau Katolik
(Nasrani) yang baik, Anda seharusnya menghormati iman orang lain (umat
Islam), dengan tidak mencampur-adukkan dengan iman Nasrani, sehingga
menjadi Sinkretisme… Sebagai umat Nashrani, carilah KESELAMATAN sesuai
kitab sucinya sendiri dengan tidak takut menghadapi institusi duniawi
seperti Sinode, Pimpinan gereja yang tidak memahami Firman Tuhan, merk
Gereja dan lain-lain. Jangan takut dipecat demi kebenaran hakiki.
Tuhan Yahweh di dalam Nama Yeshua HaMashiakh memberkati Anda." (Yakub
Sulistyo, "Allah" dalam Kekristenan, Apakah Salah, (2009), hal. 43.
Buku ini tidak mencantumkan nama penerbit).
Bahkan, kaum Kristen penolak nama "Allah" ini juga kemudian lagi-lagi
menerbitkan Bibel versi mereka sendiri, yang membuang semua kata Allah
di dalamnya. (Lihat: Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru –
Indonesian Literal Translation (ILT), terbitan Yayasan Lentera Bangsa,
Jakarta, 2008). Sebagai contoh, pada Matius 4: 10, versi Kitab Suci
ILT, tertulis: "Kemudian YESUS berkata kepadanya, "Enyahlah hai Satan!
Sebab telah tertulis: Engkau harus menyembah YAHWEH, Elohimmu, dan
kepada-Nya sajalah engkau harus beribadah." Sedangkan dalam Alkitab
versi LAI (2007) tertulis: "Maka berkatalah Yesus kepadanya:
"Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan,
Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti." Contoh lain,
dalam Alkitab ILT Kitab Ulangan 10:17, tertulis: "Sebab YAHWEH,
Elohimmu, Dialah Elohim atas segala ilah dan Tuhan atas segala tuan,
Elohim yang besar yang perkasa dan yang ditakuti, yang tidak memandang
muka, juga tidak menerima suap." Sedangkan dalam versi LAI (2007),
ayat itu ditulis: "Sebab TUHAN, Allahmulah Allah segala allah dan
Tuhan segala tuhan, Allah yang besar, kuat dan dahsyat, yang tidak
memandang bulu atau pun menerima suap."
Jika kaum Kristen di Indonesia merujuk kepada Bibel versi Arab, maka
persoalan nama dan penyebutan Tuhan juga menjadi rumit sebab huruf
Arab – sebagaimana huruf Ibrani tidak mengenal huruf kapital atau
huruf kecil. Sebagai contoh, sebuah Bibel versi Arab-Inggris terbitan
International Bible Society (1999), menulis Kitab Ulangan 10:17
sebagai berikut: "Li-anna al-rabba ilahukum huwa ilahu al-Aalihati wa
rabbu al-arbaabi, al-ilahu al-'adhiimu, al-jabbaaru al-mahiibu,
al-ladziy laa yuhaabiy wajha ahadin, wa laa yastarsyiy. (Dalam sebuah
Bibel bahasa Arab terbitan London tahun 1866, ayat itu ditulis sebagai
berikut: Min ajli anna al-rabba ilaahukum huwa ilaahu al-Aalihati wa
rabbu al-arbaabi ilaahun 'adhiimun… ). Dalam teks bahasa Inggris
(versi New International Version) ayat itu ditulis sebagai berikut:
"For the LORD your God is God of gods and Lords of lords, the great
God, mighty and awesome, who shows no partiality."
Menyimak perdebatan seputar penggunaan nama Allah dalam Kristen,
tampaknya, nama "Allah" memang merupakan nama Tuhan yang sudah
digunakan oleh kaum-kaum sebelum Islam, di kawasan Arab. Karena
misteri penyebutan nama Tuhan dalam Perjanjian Lama (YHWH) tidak
terpecahkan, maka kaum Kristen di Arab – tampaknya -- juga
menyesuaikan diri dengan tradisi di situ dalam menyebut Tuhan, yaitu
dengan menggunakan kata Allah. Tetapi, kaum Kristen tetap memberikan
catatan, bahwa kata "Allah" bukanlah sebuah nama diri, melainkan
hanya sebutan untuk Tuhan di daerah Arab. Begitu juga dengan
konsepnya, Allah adalah Tuhan Tritunggal.
Pandangan Kristen terhadap "Allah" semacam itu jelas berbeda dengan
pandangan Islam terhadap Allah. Sebab, dalam Islam, Allah adalah nama
Tuhan, dan konsepnya pun bukan Tritunggal, tetapi Allah yang SATU,
tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang
setara dengan Dia. Dalam pandangan Islam, sesuai wahyu yang diturunkan
Allah kepada Nabi Muhammad saw, nama "Allah" inilah yang dipilih oleh
Allah untuk memperkenalkan diri-Nya kepada manusia, melalui utusan-Nya
yang terakhir, yakni Nabi Muhammad saw. Melalui Nabi Muhammad saw
juga, dikabarkan bahwa Isa a.s. adalah seorang Nabi, dan bukan Tuhan
atau anak Tuhan. Nabi Isa a.s. juga ditegaskan tidak mati di tiang
salib untuk menebus dosa manusia.
Jadi, meskipun nama "Allah" sudah digunakan oleh kaum musyrik Arab
sebelum kedatangan Islam, tetapi Al Quran tetap menggunakan nama ini.
Hanya saja, nama Allah yang digunakan oleh Al Quran sudah dibersihkan
konsepnya dari unsur-unsur syirik, seperti dipahami oleh kaum Kristen
dan kaum musyrik Arab. Dengan kata lain, nama Allah itu sudah
di-Islam-kan konsepnya. Nama bisa saja sama, tetapi konsepnya berbeda.
Dan satu-satunya jalan untuk memahami kemurnian lafadz dan makna Allah
tersebut, haruslah dilakukan melalui pemahaman terhadap wahyu Allah
yang diturunkan kepada Nabi terakhir, yakni Muhammad saw. Karena itu,
menurut pandangan Islam, bisa dipahami, untuk mengenal Allah secara
murni (tauhid), maka tidak bisa tidak harus mengakui kenabian Muhammad
saw. Sebab, Nabi Muhammad saw adalah utusan Allah terakhir, yang
bertugas menjelaskan siapa Allah, nama dan sifat-sifat-Nya, dan cara
untuk beribadah kepada-Nya.
Itu konsepsi Islam tentang nama Tuhan, yang memang berbeda dengan
konsepsi Kristen tentang nama Tuhan. Dalam pandangan Islam, setelah
diutusnya Nabi Muhammad saw kepada seluruh manusia, maka sebenarnya
kaum Kristen mengakui dan mengimani kenabian Muhammad saw, sebagaimana
dipesankan Nabi Isa a.s. (yang artinya): "Dan ingatlah ketika Isa ibn
Maryam berkata, wahai anak keturunan Israel, sesungguhnya aku adalah
utusan Allah kepada kalian semua, membenarkan apa yang telah ada pada
kita, yaitu Taurat dan memberikan kabar gembira (akan datangnya)
seorang Rasul yang bernama Ahmad." (QS 61:6).
Jadi, dalam pandangan Islam, Isa a.s. adalah Nabi, utusan Allah,
sebagaimana para nabi sebelumnya. Karena itulah, ketika kaum Kristen
mengangkat Isa a.s. sebagai Tuhan, maka Allah murka (QS 19:88-91).
Sebaliknya, bagi kaum Kristen, Yesus dipandang sebagai juru selamat,
dan satu-satunya jalan keselamatan menuju Tuhan. Karena itu, semua
manusia harus diusahakan untuk mengenal Yesus dan dibaptis.
. . . dalam pandangan Islam, Isa a.s. adalah Nabi, utusan Allah,
sebagaimana para nabi sebelumnya. Karena itulah, ketika kaum Kristen
mengangkat Isa a.s. sebagai Tuhan, maka Allah murka
Kaum Kristen juga memiliki pandangan yang berbeda dengan Islam tentang
nama Tuhan. Sebagian mereka memandang, bahwa nama Tuhan diserahkan
kepada budaya setempat. Maka, di Barat, kaum Kristen memanggil God
atau Lord, di Arab lain lagi, dan di Indonesia juga berbeda. Konsepsi
ini yang digugat sejumlah kelompok Kristen lain, seperti "Jaringan
Gereja Pengagung Nama Yahweh", yang menyatakan, bahwa nama Tuhan sudah
disebutkan dalam Bibel, yaitu Yahweh.
Demi Misi Kristen
Memang, pertanyaanya, mengapa kaum Kristen di wilayah Melayu-Indonesia
menggunakan kata "Allah" untuk menyebut nama Tuhan mereka? Padahal,
Kristen yang datang ke Indonesia sesungguhnya berasal dari Barat, yang
tidak mengenal kata Allah. Salah satu alasannya, seperti disebutkan
oleh Samin Sitohang dalam bukunya, Siapakah Nama Sang Pencipta?
Menjawab Kontroversi Sekitar Pemakaian Nama Allah dalam Alkitab,
adalah "pertimbangan misiologis". Jadi, karena penduduk di wilayah
Melayu-Nusantara ini sudah terbiasa menyebut nama Tuhan dengan Allah,
karena mayoritasnya Muslim, maka dipakailah kata Allah untuk menyebut
Tuhan Kristen tersebut. Samin Sitohang menulis tentang hal ini:
"Jadi, jika Alkitab bahasa Indonesia menggunakan Allah untuk nama Sang
Pencipta, itu berarti Roh Allah sedang menyiapkan umat-Nya yang
berasal dari golongan lain untuk menerima Injil karena mereka tidak
perlu harus membuang Allah untuk mendapatkan nama Sang Pencipta yang
baru. Sebaliknya, jika Alkitab Indonesia memakai Elohim, nama ini akan
sukar diterima. Memang secara teologis dan moral, nama itu tidak
keberatan untuk dipakai. Tetapi dari sudut pandang misiologis,
penggunaan nama itu akan menjadi sia-sia. Lebih jauh, jika Alkitab
Indonesia menggunakan Elohim, maka dari sudut kesaksian Kristiani,
nama itu akan merusak citra Injil. Sebab, semua orang sudah tahu bahwa
nama Sang Pencipta bagi umat Kristen Indonesia adalah Allah, bahkan
nama ini sudah dipakai umat Kristen di Arab zaman pra-Islam. Lalu jika
berganti menjadi Elohim, orang luar akan berkata bahwa nama Allah umat
Kristen tidak konsisten. Jika demikian halnya, bagaimana jadinya nilai
Injil di mata orang asing, khususnya umat Islam? Mereka akan berkata,
"Dahulu nama Allah kalian Allah, sekarang Elohim, dan besok siapa
lagi? Bukankah hal ini akan menyesatkan pemikiran mereka dengan
keyakinan bahwa ternyata tidak ada kepastian di dalam "agama" Kristen?
Disamping itu, umat Kristen sendiri pun akan dan memang sudah banyak
kebingungan atas sikap Kelompok Penggagas yang memaksakan penggunaan
Elohim menggantikan Allah." (Samin Sitohang, Siapakah Nama Sang
Pencipta? Menjawab Kontroversi Sekutar Pemakaian Nama Allah dalam
Alkitab, hal. 100-101).
Penggunaan kata Allah adalah "pertimbangan misiologis", karena Kristen
yang datang ke Indonesia sesungguhnya berasal dari Barat, yang tidak
mengenal kata Allah.
Menurut Samin Sitohang, meskipun nama Allah digunakan oleh penganut
agama yang berbeda, maka akan memiliki akibat yang berbeda. Jika kaum
Kristen yang menggunakan nama Allah, maka roh Kristus sendiri yang
datang, sesuai dengan 1 Korintus 8:5,6, tidak ada lagi allah selain
Allah yang dikenal dalam Yesus Kristus. "Tetapi, jika orang bukan
Kristen memanggil nama itu, tentu Ia tidak ada di situ, alias kosong.
Jika demikian halnya, ketika orang bukan Kristen memanggil Allah,
bukan mustahil justru roh antikristus akan datang menyusup,
seolah-olah doa mereka dijawab oleh Sang Pencipta, padahal Ia tidak
mendengar doa-doa mereka. Lalu bukan mustahil kesempatan itu
dimanfaatkan oleh Iblis, karena Iblis pun bisa berpura-pura baik
untuk menyamar sebagai malaikat terang (2 Kor. 11:13-15)," demikian
tulis Samin Sitohang, seorang pendeta Gereja Metodis Injili dan dosen
Institut Alkitab Tiranus.
Samin Sitohang juga berpendapat, bahwa "siapa pun nama yang diberikan
oleh masyarakat budaya tertentu kepada Sang Pencipta, asalkan nama itu
mencerminkan karakter-Nya sebagai Sang Pencipta, Yang Maha Kuasa, Yang
Maha Suci, dan Yang Mahabaik, dapat dipahami sebagai bagian dari
rencana Sang Pencipta untuk meraih segala suku bangsa agar percaya
kepada-Nya."
Konsep Kristen tentang nama Tuhan ini sangat berbeda dengan Islam,
yang mensyaratkan, nama Tuhan haruslah berdasarkan wahyu, bukan
berdasarkan tradisi atau kesepakatan suatu masyarakat. Nama Tuhan
dalam Islam adalah masalah penting dan mendasar. Dalam ajaran Islam,
dikenal nama-nama Tuhan yang semuanya berasal dari wahyu, sehingga
umat Islam seluruh dunia dan sepanjang zaman, memanggil nama Tuhan
dengan ungkapan yang sama, sebagaimana diajarkan dalam Al Quran,
seperti "Ya Allah", "Ya-Rahman", "Ya-Rahim", "Ya Ghafur", dan dengan
nama-nama lain yang dikenal sebagai Asmaul Husna. Karena itu, nama
Tuhan dalam Islam bukanlah hal yang spekulatif, tetapi merupakan satu
kepastian berdasarkan wahyu.
Sebaliknya, nama YAHWEH yang diajukan oleh kelompok-kelompok Kristen
penolak kata "Allah", juga tak kurang kontroversialnya. I.J.
Satyabudi, seorang penulis Kristen, mengritik keras sejumlah kelompok
Kristen yang mengklaim bahwa nama Tuhan orang Kristen adalah Yahweh.
Ia menulis: "Orang-orang Yahudi di seluruh dunia tertawa
terbahak-bahak ketika menyaksikan orang-orang Kristen mengklaim
dirinya lebih mengetahui cara pengucapan nama YHWH dibandingkan umat
Yahudi." (hal. 92).
Jadi, bagaimana seharusnya kaum Kristen memanggil Tuhan mereka.
Jawabnya, seperti dikatakan Pendeta Parhusip:
"Lalu mungkin ada yang bertanya: Siapakah Pencipta itu dan
bagaimanakah kalau kita mau memanggil Pencipta itu? Jawabnya: Terserah
pada Anda! Mau panggil; Pencipta! Boleh! Mau panggil: Perkasa!
Silahkan! Mau panggil: Debata! Boleh! Mau panggil: Allah! Boleh! Mau
panggil: Elohim atau Theos atau God atau Lowalangi atau Tetemanis...!
Silakan! Mau memanggil bagaimana saja boleh, asalkan tujuannya
memanggil Sang Pencipta, yang menciptakan langit dan bumi... Ya,
silakan menyebut dan memanggil Sang Pencipta itu menurut apa yang
ditaruh oleh Pencipta itu di dalam hati Anda, di dalam hati kita
masing-masing. Lihat Roma 2:14-15."
Untuk kasus Malaysia, demi terciptanya kerukunan umat beragama, . . .
agar kaum Kristen tidak lagi menggunakan kata "Allah" untuk menyebut
Tuhan mereka.
Untuk kasus Malaysia, demi terciptanya kerukunan umat beragama,
sebagai Muslim kita juga tentu boleh mengusulkan, agar kaum Kristen
tidak lagi menggunakan kata "Allah" untuk menyebut Tuhan mereka. Toh,
memang tidak ada masalah bagi kaum Kristen untuk memanggil Tuhan
dengan berbagai sebutan selain Allah. Jadi, mengapa harus bertahan
dengan sebutan "Allah"? [Depok, 23 Januari 2010]
(PurWD/voa-islam.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar