18. Dr. Siti Musdah Mulia
Dr. Siti Musdah Mulia (wanita, dosen pascasarjana UIN Jakarta,
menyuarakan kesetaraan gender dengan membuat LSM di Departemen Agama,
menyuarakan pembatalan syari'at Islam di antaranya melarang poligami,
tapi membolehkan nikah beda agama. Ini jelas-jelas mengharamkan yang
halal dan menghalalkan yang haram, dilakukan bersama timnya 11 orang
plus kontributornya 16 orang. Tim pengharaman yang halal dan
penghalalan yang haram itu adalah:
a. Dr Siti Musdah Mulia, MA, Apu;
b. Drs Marzuki Wahid, MA;
c. Drs Abd Moqsith Ghazali, MA;
d. Dra Anik Farida, MA;
e. Saleh Partaonan, MA, M.Hum;
f. Drs Ahmad Suaedy,
g. Drs H Marzani Anwar, APU alumni IAIN Jogjakarta;
h. H Abdurrahman Abdullah, MA,
i. Dr KH Ahmad Mubarok, MA;
j. Drs Asep Taufik Akbar, MA. Kontributor aktif 16 orang:
k. KH Drs Husen Muhammad pengasuh PP Arjawinangun Cirebon Jabar;
l. KH Drs Afifuddin Muhajir, MA pengasuh PP Sukorejo Asembagus
Situbondo Jawa Timur;
m. Drs Lies Marcoes-Natsir, MA feminis Muslim;
n. Dr H Zainun Kamal, MA dosen Pascasarjana UIN Jakarta;
o. Dr H Ahmad Luthfi dosen pascasarjana UIN Jakarta;
p. Drs Syafiq Hasyim, MA deputi direktur ICIP Jakarta;
q. Faqihuddin Abdul Qadir, MA direktur Fahmina Institute Cirebon;
r. Drs M Jadul Maula, MA direktur LkiS Jogjakarta;
s. Drs Imam Nakhai, MHI dosen Ma'had Aly Situbondo;
t. Dr Hamim Ilyas, MA dosen UIN Jogjakarta;
u. Dra Badriyah Fayumi, Lc, MA peneliti Puan Amal Hayati pimpinan
Sinta Nuriyah isteri Gus Dur di Ciganjur Jakarta;
v. Drs Noer Yamin Aini, MA peneliti PPSDM UIN Jakarta;
w. Drs Umi Khusnul Khatimah, MA PP Fatayat NU;
x. Dra Mesraini MA staf pengajar UIN Jakarta;
y. Dra Ny Hindun Anisa, MA PP Krapyak Jogjakarta;
z. dan Drs Fatmah Amelia, MA dosen UIN Jogjakarta.
Mereka ini di bawah kordinator Siti Musdah Mulia mengeluarkan buku
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan label Pokja
Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, Jakarta 2004. Isinya
meresahkan umat Islam karena menghalalkan yang haram dan mengharamkan
yang halal, hingga MUI berkirim surat teguran keras ke Menteri Agama
Said Agil Al-Munawwar, akhirnya draf itu dicabut oleh Menag, Oktober
2004.).
19. Faqihuddin
Faqihuddin (alumni Suriah yang temannya sendiri seperti Adnin Armas
heran, kenapa setelah jadi dosen STAIN Cirebon jadi nyeleneh dan
menulis di Majalah Syir'ah yang isi majalah itu banyak menyesatkan)
20. Hussein Muhammad
Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid, Cirebon, memberikan pengantar
untuk buku In The Name Of Sex karya Soffa Ihsan yang tak sungkan
membeberkan sederet pengalaman menghirup kenikmatan sesaat bersama
perempuan lain –dari yang muda hingga yang tua. Soffa Ihsan bertutur
ihwal petualangannya di dunia prostitusi di kota besar hingga
tempat-tempat terpencil di Sumatra. Soffa menyangsikan aturan agama
dapat menyelesaikan masalah faktual, seperti pelacuran, hubungan
sejenis, seks bebas, yang tak memandang kelas di masyarakat itu. Ia
memandang doktrin agama tafsiran ulama klasik yang pernah dilahapnya
di pesantren tidak relevan lagi dengan kenyataan yang berkembang di
masyarakat. (Lihat Majalah Gatra Nomor 13 Beredar 4 Februari 2005).
Buku yang jelas-jelas membeberkan bejatnya moral diri sendiri sebagai
seorang gigolo (?), masih pula menghujat Islam itu, malah diberi kata
pengantar oleh Hussein Muhammad. Di samping itu rupanya orang Cirebon
ini dipercaya teman-teman sepenyelenehan untuk bicara gender sampai di
Malaysia.
Sekalipun Hussein Muhammad ini sudah dipercaya oleh orang JIL sampai
jadi utusan ke Malaysia, namun ternyata keok di kandang sendiri di
Cirebon, ketika melabrak seorang ustadz muda, Muhammad Toharo. Singkat
peristiwanya, Hussein Muhammad dan Faqihuddin beserta dua rekannya
datang ke seorang ustadz muda, Muhammad Toharo, di Yayasan As-Sunnah
Cirebon Jawa Barat. Empat orang berpaham model JIL itu berbantah
dengan Ust Toharo di rumah Toharo.
Disepakati, mereka mempercayai Kitab Tafsir Ibnu Katsir, dan akan
dibaca saat itu juga. Hussein Muhammad disuruh membacanya, tafsiran
Surat Al-Baqarah ayat 62 yang sering dijadikan landasan faham
pluralisme agama, menyamakan semua agama. Baru membaca beberapa baris,
Hussein Muhammad dicecar, Yahudi dan Nasrani yang diterima agamanya
oleh Allah swt itu yang saalifah, yang telah lalu (bukan setelah
datangnya Nabi Muhammad ).
Pembacaan tafsir ini tidak diteruskan sampai hadits-hadits yang
menjelaskan bahwa Yahudi dan Nasrani yang sudah mendengar seruan Nabi
Muhammad dan tidak mau masuk Islam, lalu mati, maka menjadi
penghuni-penghuni neraka. Akibatnya, empat orang JIL ini tidak bisa
mengelak, akhirnya mengakui bahwa Yahudi dan Nasrani sekarang
statusnya kafir.
Hanya saja mereka berempat masih mengelak tentang Yahudi dan Nasrani
yang statusnya kafir itu masuk neraka atau tidak. Lalu Ust Toharo
menegaskan, menurut Al-Qur'an, orang kafir itu masuk neraka selamanya.
Percaya Al-Qur'an tidak? Bila tidak percaya maka kamu kafir, tegas Ust
Toharo, awal 2005. Demikian menurut penuturan Ust Toharo ketika
penulis bertemu dengannya di Bogor, menjelang Iedul Adha 1425H/ 19
Januari 2005.
21. Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar (orang UIN Jakarta yang menyebarkan feminisme dan
dipercaya oleh orang JIL –Jaringan Islam Liberal untuk bicara Islam
model mereka ke Amerika). Dia diangkat jadi pengurus structural PBNU
setelah Muktamar di Donoudan Boyolali Jawa Tengah, Syawal 1425H/
November 2004, yang saat itu pesawat Lion Air tergelincir di Bandara
Panasan/Adisumarmo Solo hingga di antara tokoh NU, yang duduk di DPR
dan akan menghadiri muktamar itu ternyata meninggal.
Gus Dur dan Masdar Farid Mas'udi kalah telak oleh pasangan Hasyim
Muzadi dan KH Sahal Mhfudz, maka Gus Dur mengancam akan membuat NU
tandingan. Akibatnya, Hasyim Muzadi mengakomodasi pihak liberal model
Gus Dur dan Masdar F Mas'udi, maka dimasukkanlah Nasaruddin Umar yang
liberal dan feminisme itu ke jajaran kepengurusan PBNU).
22. Alwi Shihab
Alwi Shihab (tokoh di NU/ PKB, pendorong awal dan pengkampanye
penyamaan semua agama, berkolaborasi dengan pejabat non Islam untuk
menatar para karyawan tentang faham pluralisme agama / menyamakan
semua agama di satu instansi meliputi Jawa dan Madura).
23. Quraish Shihab
Quraish Shihab mantan menteri agama 70 hari zaman Soeharto dan mantan
rector IAIN Jakarta yang dikenal mengemukakan ucapan selamat natal
diklaim sebagai sesuai Al-Qur'an, dan bersuara aneh tentang jilbab
hingga pernah dibantah mahasiswa Indonesia di Mesir.
Quraish Shihab menulis dengan judul Selamat Natal Menurut Al-Qur'an,
di buku Membumikan Al-Qur'an. Di antara isinya:
Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, Al-Quran
memperkenalkan satu bentuk redaksi, dimana lawan bicara memahaminya
sesuai dengan pandangan atau keyakinannya, tetapi bukan seperti yang
dimaksud oleh pengucapnya. Karena, si pengucap sendiri mengucapkan dan
memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan keyakinannya. Salah
satu contoh yang dikemukakan adalah ayat-ayat yang tercantum dalam QS
34:24-25. Kalaupun non-Muslim memahami ucapan "Selamat Natal" sesuai
dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang
memahami akidahnya akan mengucapkannya sesuai dengan garis
keyakinannya. Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi
sosial.
Tidak kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan itu, bila ia
ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Tetapi,
tidak juga salah mereka yang membolehkannya, selama pengucapnya
bersikap arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih
jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.
(Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Dr. M. Quraish Shihab, Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab
1417/November 1996)
Tulisan Quraish Shihab itu walaupun berdalih ini dan itu, di antaranya
untuk interaksi social dan keharmonisan, namun justru dia tidak
menengok kondisi social yang umat Islam selama ini jadi incaran
kristenisasi dan pemurtadan. Bahkan di masa umat Islam terkena musibah
seperti di Aceh yang kena badai Tsunami Ahad 26 Desember 2004 hingga
mematikan lebih dari 150-an ribu orang dan menghancurkan hampir
seluruh bangunan, tetap saja kristenisasi dan pemurtadan
mengintai-intai dan mencari kesempatan.
Hingga dikhabarkan 300 anak Aceh dibawa keluar oleh lembaga Kristen,
yang hal itu menjadi polemik. Dengan "fatwa" seperti itu, maka ada
situs yang menyebut bahwa hanya mereka yang agak rancu pikirannya saja
yang memahami ayat 30-34 Surat Maryam sebagai ayat yang
memerintahkan/membolehkan untuk mengucapkan selamat natal kepada orang
kafir. (lihat
syariahonlien.com, konsulotasi akidah, Boleh mengucapkan
selamat Natal?).
24. Atho' Mudhar
Atho' Mudhar Kepala Badan Litbang (Penelitian dan Pengembangan)
Deprtemen Agama RI yang berpendapat bahwa Masjidil Aqsho bukan di
Palestina tapi di baitul makmur di langit, suatu penafsiran aneh yang
berbau pro Yahudi Israel dan dikemukakan di pengajian Paramadina
pimpinan Nurcholish Madjid lalu disebarkan oleh Majalah Tempo pimpinan
tokoh liberal Gunawan Mohammad. Masalah itu pernah penulis kemukakan
kepada Syaikh Rajab, Imam Masjidil Aqsho Palestina, 1993, beliau
sangat terheran-heran, ada orang Indonesia yang seliar itu dalam
menafsirkan ayat suci Al-Qur'an.
25. Azyumardi Azra
Azyumardi Azra, Rektor UIN Jakarta dan Ketua umum Yayasan Wakaf
Paramadina di Jakarta menggantikan Komaruddin Hidayat. Azra termasuk
penolak diterapkannya syari'at Islam namun nasibnya tak seburuk Ahmad
Syafi'i Maarif, karena Azra meliuk-liuk dalam tulisan dan bicaranya
dengan berlindung pada peradaban atau menisbatkan gagasannya kepada
tokoh lain, hingga walau sampai sebagai pemuja demokrasi hingga dia
sebut Islam kompatibel (cocok, rukun, harmonis) dengan demokrasi,
namun masyarakat belum mengecamnya.
Padahal dia justru pemuja demokrasi untuk dipas-paskan
dicocok-cocokkan dengan Islam seraya menolak diterapkannya syari'at
Islam. Dalam tulisannya di rubrik Resonansi di Harian Republika,
Azyumardi Azra mengajak Indonesia untuk meniru langkah-langkah PM
Malaysia, Abdullah Badawi.
Azyumardi menulis: Bagaimana sosok Islam progresif yang dibayangkan
Badawi itu? Singkatnya adalah Islam yang toleran, inklusif, modern,
kompatibel dengan demokrasi dan perkembangan kontemporer. Bukan Islam
yang dipahami secara harfiah, kaku, eksklusif, dan berorientasi ke
masa silam.
Di situlah lihainya Azyumardi Azra, ketika ia sedang memuja demokrasi
dan liberal dengan menyebut Islam yang inklusif (menganggap agama kami
mungkin salah, agama orang lain mungkin benar, maka saling mengisi;
ini faham liberal yang setingkat di bawah pluralisme agama yang
menyamakan semua agama), dan memuja demokrasi dengan menyebut Islam
yang kompatibel (cocok, rukun, harmonis) dengan demokrasi; ia
sandarkan kepada orang lain yakni PM Abdullah Badawi.
Sehingga seakan-akan tulisannya itu bukanlah memuja demokrasi plus
jualan faham liberal yang tak sesuai dengan Islam, dari dirinya
sendiri. Kelihaian ini yang mengakibatkan Azyumardi Azra belum terkena
getah cap buruk dari masyarakat, kecuali dari kalangan tertentu yang
sudah mencium keliberalannya dan faham pluralisme agamanya yang
dibungkus-bungkus itu. Dengan cara itu dia mendapatkan dua keuntungan,
dari pihak anti Islam dia dipercaya, sedang dari pihak Islam dia
tidak/belum dikecam.
Allah lah yang Maha Mengetahui, mengetahui rahasia-rahasia yang di
dalam hati, sedang manusia mengetahui gejala yang nampak. Bagi yang
jeli seperti Adian Husaini, sekalipun dia berada di Kuala Lumpur
Malaysia, namun sempat juga melihat tikaman-tikaman Azyumardi Azra
terhadap Islam, maka Adian pernah menulis khusus menyoroti artikel
resonansi Azra di Republika.
Sorotan Adian itu dimuat di
hidayatullah.com Jumat, 03 Desember 2004
dan dibaca di Radio Dakta Bekasi, berjudul Kebangkitan Islam atau
Kebangkrutan Islam?
Tulis adian: Menurut Azyumardi Azra, Kebangkitan Islam ditandai dengan
toleransi dan gagasan pluralisme. Islam gaya Timur Tengah justru
'ancaman Islam'. Sikap cari muka terhadap Barat?
Pada tanggal 2 Desember 2004, Prof. Azyumardi Azra, Rektor Universitas
Islam Negeri (UIN) Jakarta, menulis satu di kolom Resonansi, di Harian
Republika, berjudul Memahami Kebangkitan Islam.
Kolom ini perlu kita cermati karena memuat banyak hal yang perlu
diklarifikasi. Sejumlah istilah yang digunakan Azyumardi memiliki
makna yang rancu dan menunjukkan kuatnya hegemoni Barat dalam kajian
tentang Islam, umat Islam, dan dunia Islam.
Sehingga, ilmuwan sekaliber Prof. Azyumardi Azra (AA) harus menelan
mentah-mentah istilah dan sekaligus wacana yang dijejalkan oleh Barat
ke dunia Islam. Karena itu, muncul paradoks, bahwa sesuatu yang
mestinya diprihatinkan, justru dibangga-banggakan. (Lihat
hidayatullah.com).
Adian mencontohkan, faham pluralisme agama (menyamakan semua agama)
dibanggakan Azra karena kini tumbuh di Indonesia, padahal itu
seharusnya sangat harus diprihatinkan, bukan dibanggakan. Makanya,
Adian sampai mengatakan, Azra telah menelan mentah-mentah pernyataan
orang Israel, yang hal itu sangat disayangkan, lalu Adian
mempertanyakan, apakah itu untuk menjilat Barat.
26. Said Aqil Siradj
Said Aqil Siradj, dosen pasca sarjana UIN Jakarta dan tokoh NU
–Nahdlatul Ulama– yang pernah bersuara sangat aneh dan menyakiti para
sahabat Nabi Muhammad bahwa orang Arab sepeninggal Nabi Muhammad
mereka murtad kecuali hanya orang-orang Arab Quraisy, itupun tidak
keluarnya dari Islam bukan karena agama tapi karena suku/ kabilah.
Dengan tulisannya di makalah yang sangat menyakiti para sahabat Nabi
Muhammad itu maka Aqil Siradj dikafirkan oleh belasan ulama dan ada
gagasan untuk diusulkan ke almamaternya, Universitas Ummul Quro
Makkah, agar gelar doktornya dicabut; namun malah Aqil Siradj
menantang silahkan dicabut, sekalian gelar hajinya yang telah ia
jalani belasan kali silahkan dicabut.
Lancangnya Said Aqil Siradj melontarkan tuduhan bahwa –orang Arab
sepeninggal Nabi Muhammad mereka murtad kecuali hanya orang-orang
Arab Quraisy, itupun tidak keluarnya dari Islam bukan karena agama
tapi karena suku/ kabilah– itu sangat jauh bila dibandingkan dengan
peringatan dari Nabi Muhammad untuk berhati-hati dalam berucap
mengenai pribadi para sahabat Nabi :
Diriwayatkan dari Abu Said katanya: Di antara Khalid bin al-Walid dan
Abdul Rahman bin Auf telah terjadi sesuatu, lalu Khalid mencacinya.
Mendengar hal itu, Rasulullah bersabda: Janganlah kamu mencaci
Sahabatku, maka sesungguhnya walaupun salah seorang dari kamu
membelanjakan emas sebesar gunung Uhud sekalipun, dia tidak dapat
menandingi salah seorang ataupun separuh dari mereka. (Hadits Muttafaq
'Alaih ).
Dengan lontaran-lontaran nyeleneh seperti itu maka mereka dari jauh
pun sudah tercium baunya bahwa mereka adalah orang-orang yang suaranya
nyeleneh mengenai Islam. Atau kacau dalam berbicara tentang Islam. Itu
belum yang secara habitat memang liberal seperti Komaruddin Hidayat
bekas ketua Paramadina. Dulunya justru di barisan depan dalam
menghadapi Islam, seakan berada di barisan Nasrani, ketika dia
keceplosan menyinggung hal yang rawan: Kalau nanti partai Islam menang
maka kalian para tokoh dan anggota gereja disembelih semua. Berita itu
santer tahun 1985-an, dimuat oleh Koran Protestan, Sinar Harapan, lalu
Komaruddin Hidayat khabarnya meminta maaf atas keterlanjurannya itu.
Ada pula bibit-bibit yang kini masih dalam proses kenyelenehan
misalnya Pradana Boy, Sukidi, Fuad Fanani dari Muhammadiyah, dan
semacamnya yang sudah tampak membela-bela kenyelenehan atau
nyerempet-nyerempet ke arah kenyelenehan dengan tulisan-tulisan
misalnya di milis-milis. Belum pula aktivis yang tadinya dari Majalah
Panji Masyarakat (dulu pimpinan Buya Hamka kemudian dilanjutkan
anaknya, Rusydi Hamka, belakangan pindah-pindah tangan, dan kini telah
tiada nafas lagi) misalnya Syafi'i Anwar yang bekerjasama dengan The
Asia Foundation dengan lembaganya, ICIP –International Center for
Islam and Pluralism– menyuarakan suara kemusyrikan yaitu pluralisme
agama. Lembaga inilah yang mendatangkan tokoh Mesir yang telah divonis
sebagai orang murtad oleh Mahkamah Agung Mesir tahun 1996 karena
tulisan-tulisannya yang menghujat Islam yakni Dr Nasr Hamid Abu Zayd
ke Indonesia untuk ke UIN Jakarta dan lembaga-lembaga liberal lainnya,
September 2004.
Orang-orang JIL pun sibuk mengikuti work shopnya, bahkan sibuk menulis
dan wawancara untuk disebarkan di sana-sini. Nama Amin Abdullah rector
UIN Jogjakarta dan ketua Majlis Tarjih Muhammadiyah selaku pengagum
Nasr Hamid Abu Zayd karena teori hermeneutic yang diikutinya telah
menganggap Al-Qur'an sebagai produk budaya itupun diwawancarai dan
disebarkan, pada bulan September 2004.
Masyarakat Islam Indonesia dijejali suguhan yang dikais-kais dari otak
orang yang sudah divonis murtad oleh Mahkamah Agung Mesir dengan
sejumlah pelecehan terhadap Islam.
Berikut ini cuplikan artikel yang pantas disimak:
Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd
Oleh Dr. Syamsuddin Arif
Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, Jerman
Beberapa waktu lalu, sebuah workshop bertemakan kritik Wacana Agama,
digelar di Jakarta.
Penyelenggaranya, Jaringan Islam Liberal (JIL) dan International
Center for Islam and Pluralism (ICIP), menghadirkan Nasr Hamid Abu
Zayd sebagai pembicara utama. Tulisan ini bermaksud mengkritisi sosok
tokoh yang sedang tenar di Indonesia ini.
Nama Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual asal Mesir yang 'kabur' ke
Belanda dan kini mengajar di Universitas Leiden itu, pertama kali saya
dengar dari Profesor Arif Nayed, seorang pakar hermeneutika yang
pernah menjadi guru besar tamu di ISTAC, Malaysia, sekitar tujuh tahun
yang lalu. Perkembangan kasusnya saya ikuti dari liputan media dan
laporan jurnal.
Terus-terang saya tidak begitu tertarik oleh teori dan ide-idenya
mengenai analisis wacana, kritik teks, apalagi hermeneutika. Sebabnya,
saya melihat apa yang dia lontarkan kebanyakan –untuk tidak mengatakan
seluruhnya– adalah gagasan-gagasan nyeleneh yang diimpor dari tradisi
pemikiran dan pengalaman intelektual masyarakat Barat.
Promosi guru besar
Nasr Hamid Abu Zayd adalah orang Mesir asli, lahir di Tantra, 7
Oktober 1943. Pendidikan tinggi, dari S1 sampai S3, jurusan sastra
Arab, diselesaikannya di Universitas Kairo, tempatnya mengabdi sebagai
dosen sejak 1972. Namun ia pernah tinggal di Amerika selama dua tahun
(1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di
Institute of Middle Eastern Studies, University of Pennsylvania,
Philadelphia.
Karena itu ia menguasai bahasa Inggris lisan maupun tulisan. Ia juga
pernah menjadi dosen tamu di Universitas Osaka, Jepang. Di sana ia
mengajar Bahasa Arab selama empat tahun (Maret 1985-Juli 1989). Karya
tulisnya yang telah diterbitkan antara lain: (1) Rasionalisme dalam
Tafsir: Studi Konsep Metafor Menurut Mu'tazilah (al-Ittijah al-'Aqliy
fi-t Tafsir: Dirasah fi Mafhum al-Majaz 'inda al-Mu'tazilah, Beirut
1982); (2) Filsafat Hermeneutika: Studi Hermeneutika al-Quran menurut
Muhyiddin ibn 'Arabi' (Falsafat at-Ta'wil: Dirasah fi Ta'wil al-Qur'an
'inda Muhyiddin ibn 'Arabi, Beirut, 1983); (3) Konsep Teks: Studi
Ulumul Quran (Mafhum an-Nashsh: Dirasah fi 'Ulum al-Qur'an, Kairo,
1987); (4) Problematika Pembacaan dan Mekanisme Hermeneutik
(Isykaliyyat al-Qira'ah wa Aliyyat at-Ta'wil, Kairo, 1992); (5) Kritik
Wacana Agama (Naqd al-Khithab ad-Diniy, 1992); dan (6) Imam Syafi'i
dan Peletakan Dasar Ideologi Tengah (al-Imam asy-Syafi'i wa Ta'sis
Aidulujiyyat al-Wasathiyyah, Kairo, 1992).
Kecuali nomor satu dan dua, yang berasal dari tesis master dan
doktoralnya, tulisan-tulisan Abu Zayd telah memicu kontroversi dan
berbuntut panjang. Ceritanya bermula di bulan Mei 1992. Abu Zayd
mengajukan promosi untuk menjadi guru besar di fakultas sastra
Universitas Kairo. Beserta berkas yang diperlukan ia melampirkan semua
karya tulisnya yang sudah diterbitkan. Enam bulan kemudian, 3 Desember
1992, keluar keputusannya: promosi ditolak. Abu Zayd tidak layak
menjadi profesor, karya-karyanya dinilai kurang bermutu bahkan
menyimpang dan merusak karena isinya melecehkan ajaran Islam, menghina
Rasulullah SAW, meremehkan al-Quran, dan menghina para ulama salaf.
Abu Zayd tidak bisa menerima dan protes.
Beberapa bulan kemudian, pada Jumat, 2 April 1993, Profesor
Abdushshabur Syahin, yang juga salah seorang anggota tim penilai,
dalam khutbahnya di Mesjid 'Amru bin 'Ash, menyatakan Abu Zayd murtad.
Pernyataan Ustadz Syahin diikuti oleh para khatib di masjid-masjid
pada Jumat berikutnya. Mesir pun heboh. Harian al-Liwa' al-Islami
dalam editorialnya 15 April 1993 mendesak pihak Universitas Kairo agar
Abu Zayd segera dipecat karena dikhawatirkan akan meracuni para
mahasiswa dengan pikiran-pikirannya yang sesat dan menyesatkan.
Pada 10 Juni 1993 sejumlah pengacara, dipimpin oleh M Samida
Abdushshamad, memperkarakan Abu Zayd ke pengadilan Giza. Pengadilan
membatalkan tuntutan mereka pada 27 Januari 1994. Namun di tingkat
banding tuntutan mereka dikabulkan. Pada 14 Juni 1995, dua minggu
setelah Universitas Kairo mengeluarkan surat pengangkatannya sebagai
profesor, keputusan Mahkamah al-Isti'naf Kairo menyatakan Abu Zayd
telah keluar dari Islam alias murtad dan, karena itu, perkawinannya
dibatalkan. Ia diharuskan bercerai dari istrinya (Dr Ebtehal Yunis),
karena seorang yang murtad tidak boleh menikahi wanita muslimah. Abu
Zayd mengajukan banding.
Ulama al-azhar
Sementara itu, Fron Ulama al-Azhar yang beranggotakan 2.000 orang,
meminta pemerintah turun tangan: Abu Zayd mesti disuruh bertaubat
atau—kalau yang bersangkutan tidak mau—ia harus dikenakan hukuman
mati. Tidak lama kemudian, 23 Juli 1995, bersama istrinya, Abu Zayd
terbang pergi ke Madrid, Spanyol, sebelum akhirnya menetap di Leiden,
Belanda, sejak 2 Oktober 1995 sampai sekarang. Mahkamah Agung Mesir
pada 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan yang sama:
Abu Zayd dinyatakan murtad dan perkawinannya dibatalkan. Dalam putusan
tersebut, kesalahan-kesalahan Abu Zayd disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, berpendapat dan mengatakan bahwa perkara-perkara gaib yang
disebut dalam al-Quran seperti 'arasy, malaikat, setan, jin, surga,
dan neraka adalah mitos belaka.
Kedua, berpendapat dan mengatakan bahwa al-Quran adalah produk budaya
(muntaj tsaqafi), dan karenanya mengingkari status azali al-Quran
sebagai Kalamullah yang telah ada dalam al-Lawh al-Mahfuz.
Ketiga, berpendapat dan mengatakan bahwa al-Quran adalah teks
linguistik (nashsh lughawi). Ini sama dengan mengatakan bahwa
Rasulullah telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al-Quran
adalah karangan beliau.
Keempat, berpendapat dan mengatakan bahwa ilmu-ilmu al-Quran adalah
tradisi reaksioner serta berpendapat dan mengatakan bahwa syariah
adalah faktor penyebab kemunduran umat Islam.
Kelima, berpendapat dan mengatakan bahwa iman kepada perkara-perkara
gaib merupakan indikator akal yang larut dalam mitos.
Keenam, berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah agama Arab, dan
karenanya mengingkari statusnya sebagai agama universal bagi seluruh
umat manusia.
Ketujuh, berpendapat dan mengatakan bahwa teks al-Quran yang ada
merupa kan versi Quraisy dan itu sengaja demi mempertahankan supremasi
suku Quraisy.
Kedelapan, mengingkari otentisitas Sunnah Rasulullah .
Kesembilan, mengingkari dan mengajak orang keluar dari otoritas Teks-teks agama.
Kesepuluh, berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada
teks-teks agama adalah salah satu bentuk perbudakan.
Reaksi pro dan kontra bermunculan, dari kalangan intelektual maupun
aktivis HAM. Pelbagai media di Barat kontan mengecam keputusan
tersebut seraya memihak dan membela Abu Zayd. Mereka menuduh Abu Zayd
telah dizalimi dan ditindas, bahwa hak asasinya dirampas, bahwa
kebebasan berpendapat dan berekspresi telah dipasung. The Middle East
Studies Association of North America, misalnya, melalui Komite
Kebebasan Akademis melayangkan surat keprihatinan kepada Presiden
Mesir, Husni Mubarak. Namun keputusan tersebut sudah final, tidak
dapat diganggu-gugat dan tidak dapat dicabut lagi.
Di Belanda Abu Zayd justru mendapat sambutan hangat dan diperlakukan
istimewa. Rijksuniversiteit Leiden langsung merekrutnya sebagai dosen
sejak kedatangannya (1995) sampai sekarang. Ia bahkan diberi
kesempatan dan kehormatan untuk menduduki the Cleveringa Chair in Law
Responsibility, Freedom of Religion and Conscience, kursi profesor
prestisius di universitas itu. Tidak lama kemudian, Institute of
Advanced Studies (Wissenschaftskolleg) Berlin mengangkatnya sebagai
Bucerius/ZEIT Fellow untuk proyek Hermeneutika Yahudi dan Islam.
Pihak Amerika tidak mau ketinggalan. Pada 8 Juni 2002, the Franklin
and Eleanor Roosevelt Institute menganugrahkan The Freedom of Worship
Medal_ kepada Abu Zayd. Lembaga ini menyanjung Abu Zayd terutama
karena pikiran-pikiranya yang dinilai 'berani' dan 'bebas' (courageous
independence of thought) serta sikapnya yang apresiatif terhadap
tradisi falsafah dan agama Kristen, modernisme dan humanisme Eropa.
Di Indonesia, Abu Zayd diundang dan disambut meriah.
Gagasan-gagasannya diadopsi dan dipropagandakan secara besar-besaran,
buku-bukunya diterjemahkan, lokakarya dan seminar digelar. Prof Dr M
Amin Abdullah dari IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dalam sebuah
wawancara dengan JIL, mengaku cukup tertarik dengan karya-karya Abu
Zayd seperti Naqd al-Khithab ad-Dini yang dinilainya cocok untuk
dibahas (diajarkan?) di lingkungan IAIN atau PTAI (Perguruan Tinggi
Agama Islam). Ia dan cendekiawan lainnya di Tanah Air tampaknya lupa
atau sengaja menganggap sepi keputusan Mahkamah Agung Mesir,
menganggap keputusan tersebut berlatarbelakang politik, dan karenanya
tidak valid secara akademis.
Padahal, keputusan hukum tersebut diambil berdasarkan fakta-fakta dan
hasil kesimpulan penelitian tim dan saksi ahli yang pakar di
bidangnya. Jadi keputusan tersebut sah dan mengikat (valid and
binding) baik secara hukum maupun secara akademis. Lebih jauh dari
itu, karena dicapai melalui prosedur ilmiah, musyawarah dan
kesepakatan para ahli (ulama) di bidangnya, maka keputusan tersebut
sesungguhnya merupakan ijma', bukan lagi pendapat pribadi. Dan itu
diperkuat dengan pernyataan sikap ulama yang tergabung dalam Jabhat
Ulama al-Azhar.
Selesai.